Semburat-semburat indah hiasi langit sore Sidikalang. Udara sudah mulai berkerja hembuskan dingin. Mereka yang tidak biasa keluar rumah di sore hari atau bahkan malam hari, harus segera merapatkan kancing jaket dan kerah leher. Jangan sampai angin dingin mengganggu keindahan sore di memori-memori waktu.
“Wiiiih...Broooo....” Bownie, Dani dan Issano menyambut David bertepuk tangan dan sorak-sorai.
Setelah mengantarkan Muffin sampai naik angkot, David kembali ke rumah Dani. Di sana dia disambut bak prajurit yang baru pulang dari medan perang yang memperoleh kemenangan.
Untuk pertamakalinya, David akhirnya berhasil mengajak Andrewi pulang bersama. Meski dia harus bertarung dengan bala tentara kegugupan, tapi akhirnya berhasil. Ini patut dibanggakan.
“Kalau lancar terus seperti hari ini, kita nggak perlu menunggu lama-lama. Minggu depan kalian pasti sudah bisa pacaran.”
“Amiiiinn,” Issano dan Dani mengamini pekataan Bownie.
“Amin. Thanks ma bro,” David melayangkan tos pada mereka bergantian, lalu duduk di samping Dani.
“Adam di mana?” Dia menoleh kesana-kemari mencari Adam, tapi tidak ada terlihat jejaknya.
“Adam pulang duluan, Dave. Lagi kurang sehat katanya.”
“Pas kita mau antar pulang, dianya sudah jalan duluan. Kayanya dia lagi butuh waktu sendiri, dari kemarin sibuk terus si pak ketua.”
David mengangguk mengerti ucapan Bownie dan Dani. Memang tadi saat memberikan milkshake, Adam terlihat sedang tidak baik-baik saja. Sebelum pulang bersama Andrewi, David panik dan bingung memilih minuman yang cocok. Dia meminta saran Adam lewat pesan. Bukannya tenang, David malah semakin panik karena balasan Adam sangat lama.
Milkshake aja
Read
Balasan singkat itu melegakan kepanikan David. Tapi kemudian dia teringat kalau dia tidak bisa meminum minuman seperti itu.
Dam, mana bisa aku minum minuman seprti itu
Send
Tidak ada lagi balasan yang masuk setelah beberapa menit. Kakinya semakin gelisah berjalan bolak-balik kesana-kemari, di depan etalase makanan.
Tak lama kemudian, Adam datang tergesa-gesa dengan wajah lelah. Tanpa basa-basi, dia segera memesan dua milkshake dan memberikan pada David. Adam mengambil satu sedotan dari salah satu minuman, lalu membakar ujung sedotan pakai korek api yang dipinjam dari ibu kantin. Sedotan itu kemudian dicuci hingga bersih, sampai tidak berbau plastik terbakar. Setelah itu, sedotan dimasukkan kembali ke dalam minuman. Tak lupa Adam menandai tutup kemasan dengan spidol hitam.
“Ini minuman buatmu. Ada tandanya. Jangan sampai tertukar. Sekarang coba minum dari sedotan.”
David mencoba menghirup minuman dari sedotan dan Voilaah…berhasil. Tdak ada sepercik minuman pun yang masuk ke mulutnya. David memberikan kode ok dengan jari pada Adam, tapi Adam tidak bereaksi apa-apa.
“Aku pergi dulu. Masih ada urusan,” ucapnya datar tanpa ekpresi.
“Thanks bro,” David berbicara pada angin yang tertinggal. Adam telah menghilang dari balik pintu.
Sebelum tahu Adam sedang kurang sehat, kepanikan David saat itu memang hilang, tapi pikirannya kalut atas keanehan-keanehan yang mulai ditampakkan Adam. Berat hati bercampur deg-degan dia membuka pintu dan berjalan ke gerbang sekolah, dengan sejuta pertanyaan di kepala. Adam dan Andrewi ada di dalam pertanyaan-pertanyaan itu. Mereka berganti-gantian mengiringi setiap detik waktu yang David gunakan menunggu Andrewi.
Banyak hal-hal mustahil muncul tiba-tiba begitu saja dari kepala.
“Trus kado berhasil kau kasih?” Issano tidak sabar ingin tahu sejauh apa perjalanan David dan Andrewi tadi.
“Berhasil. Dia tanya itu dari siapa.”
“Trus?”
“Kubilang aja itu dariku. Aku nggak sempat menjelaskan kalau itu kado si Dani, No. Nanti dia salah paham. Lagian kadoku sudah kutitip Shaniar. Aku malu ngasih langsung.”
“Ya…ya...ya...kalau itu bisa kita maklumi, Dave. Progresmu sudah termasuk luar biasa bisa sampai pulang Bersama, walau pun hanya sampai halte.” Bownie menepuk-nepuk punggung David membangkitkan rasa percaya dirinya.
“Nah, sekarang coba kau ceritakan kesan-kesanmu. Biar kami bisa tahu ke depannya mau disbantu apa aja.”
“Pokoknya, aku nggak sampai pingsan aja tadi, udah bersyukur kali, Dan. Apalagi waktu dia tertawa. Sumpah, jantungku sudah mau meledak. Di halte, dia cerita kalau bu Gempal seperti nggak suka sama dia. Awalnya karena dia pernah dihukum menghormat tiang bendera di lapangan. Trus, cerita kalau dia suka sama perpustakaan. Suka makan bakso, nasi goreng udang, suka pelajaran Biologi, ah...banyak lagilah.”
“Kemajuan yang sangat pesat, ma bro.”
“Pesat sekali.”
“Minggu depan jadian”
“Amiiiin.”
Secara beruntun mereka menanggapi David.
“Kau sendiri cerita apa? Cerita nggak kalau kau itu chicken?”
Mereka semua tertawa sambil memukul-mukul David yang terdiam seketika.
“Belum cerita apa-apa.”
Tiba-tiba suasana berubah hening. Ada gurat kecewa dan kesal di wajah Bownie.
“Alamat rumahnya kau dapatnya?”
“Kemarin sudah dikasih tahu sama si Dani, Bown.”
“Warna kesukaan?”
David menggeleng.
“Nomor handphone?” Kali ini Bownie bertanya dengan penekanan nada. Wajahnya berubah serius.
Takut-takut, David menggeleng pelan. Bownie mengehala nafas meredam emosi yang naik drastis.
“Nomor handphone itu paling vital, Dave. Bagaimana caranya kalian bisa semakin dekat kalau kau saja tidak tahu nomor handphonenya. For God’s sake, David Ginandajar Bara. Sepertinya kalian butuh beberapa bulan lagi supaya bisa jadian kalau gini terus.”
“Minta dari Shaniar aja, Bown.”
Helaan nafas Bownie semakin berat mendengar ucapan David. Issano malah menepuk jidatnya. “Mungkin butuh satu tahun lagi biar mereka bisa jadian, Bown.”
“Ok…Ok. Kalau besok kami...” David terdiam kehabisan akal. Dia sungguh tidak akan berani meminta langsung pada Andrewi. Membayangkannya saja tidak berani.
“Satu abad lagi mungkin,” giliran Dani menepuk jidatnya sendiri.
David ikut-ikutan menghela nafas berat memandang mereka bergantian. “Sudahlah. Latihan selanjutnya, aku minta langsung,” ucap Dani akhirnya pelan.