Sebuah botol minuman milkshake muncul di depan wajah Adam, yang tertunduk memandangi sepatu hitam mengkilap miliknya. Sepatu itu memang setiap hari berkilap bersih. Kebanggaan tersendiri baginya tetap mempertahankan kebiasaan itu setiap hari.
Dinginnya botol menyentuh hidung mengagetkannya. Adam mengangkat kepala dan menemukan David sudah berdiri di sebelahnya, menyeruput minuman yang sama. Seketika tangan Adam bergerak mencengkeram dan menarik minuman itu. Jangan sampai David meminumnya.
“Woo...wooo...rileks ma bro.” David menarik sedotan dari botol yang kini ada di tangan Adam.
“Sialan,” umpat Adam lega. Sedotan itu ternyata sedotan yang dia buat khusus beberapa hari lalu.
David tertawa ikut lega karena ternyata Adam tidak sepenuhnya berubah, meski gelagat Adam semakin hari semakin jelas. Kekhawatiran Adam meleburkan sebagian emosi, menyadarkannya bahwa Adam masih sahabatnya yang berharga.
Adam hanya terdiam memandang David tertawa sampai memegangi perut, menahan kerasnya suara tawa. Sisi lain hati Adam ikut mencair dan dia pun ikut tertawa kemudian.
Tawa itu reda setelah beberapa menit. Di dalam tawa mereka masing-masing mengerti mengapa mereka tertawa. Adam menyeka air mata yang keluar sangking hebatnya tawa itu.
Pagi-pagi di kolam renang, mereka bertemu kembali. Membahas rencana cara meminta nomor handphone Andrewi.
“Tadinya mau kuminta sendiri. Tapi ya...tau sendirilah akhirnya bagaimana, Dam.”
“Padahal cuma nomor handphone.”
“Bilang “Hei” aja butuh satu tahun, apalagi minta nomor handphone. Butuh bertahun-tahun itu.”
“Kemarin-kemarin Dani telpon, laporan tentang perkembangan kalian. Kalau kata dia, butuh satu abad malah, bukan tahunan lagi.”
Mereka tertawa lagi. Tapi lebih ringan dari yang sebelumnya. Perut mereka sudah tegang, tidak mau lagi diajak tertawa.
“Dam…jujur…sebenarnya aku sempat curiga samamu.”
“Curiga?” sesuatu menghentak-hentak dari dalam jantung Adam. Harapnya agar tidak ada satu pun kata yang keluar dari David, tentang apa yang ditakutkan olehnya.
“Curiga kau juga suka Andrewi.”
Adam terdiam sebentar, lalu tertawa. Lebih tepatnya berpura-pura tertawa menutupi fakta, bahwa ternyata ketakutannya terjadi.
“Gila. Mana mungkinlah, Dave.”
“Mungkinlah. Dani aja suka.”
“Kau ngomong gitu, dapat ide dari mana coba?”
“Gelagatmu.”
Adam lagi-lagi terdiam. Wajah David serius. Tidak ada canda di sana.
Adam pun merasa tertantang melontarkan pertanyaan, yang hampir seluruh bagian dirinya melarang untuk menanyakan. Kalau tidak sekarang kapan lagi, ucap bagian dirinya yang lain.
“Kalau iya memang kenapa?”
Kali ini giliran David yang membisu. Dari sudut pandangnya, wajah Adam juga menampakkan keseriusan. Satu kesimpulan penuh tanya, kini berganti penuh kebenaran.
“Jangan, Dam,” ucap David menekan nada suara, menekan amarahnya juga.