POV David. Dirangkum dari curhatan David pada Agitha ketika sudah pindah ke Bandung. Curhatan ini tentang malam sebelum Andrewi pingsan di Tanjakan Cinta.
Hari ini, malam ini, semua kehidupanku seperti kembali lagi ke titik awal. Titik awal mula kehancuran. Kusebut kehancuran karena tidak ada rasa apa pun lagi di dalamnya. Tidak ada warna. Bahkan hitam atau putih. Benar-benar tidak ada apa-apa di sana.
Semoga saja sisa hidupku tidak terus-terusan seperti ini. Untuk apa aku jauh-jauh pindah ke kota Sidikalang, jika pada akhirnya hidupku kembali ke titik awal.
Semula, semua memang indah. Ada harapan baru ketika bertemu sahabat-sahabatku. Mereka semua menjadi warna baru, pengalaman baru dan tawa baru. Banyak pengalaman yang tidak pernah kurasakan sebelumnya tercipta bersama mereka.
Mungkin, pertemuan dengan Andrewi adalah puncaknya. Dia buatku sadar dan yakin bahwa masih ada harapan. Dia mendorongku secara tidak langsung, berani meminta umur yang lebih panjang pada Tuhan.
Ternyata begitu indahnya harapan itu, hingga ahirnya aku terlena. Tidak sadar bahwa ternyata titik pijakanku belum berubah sama sekali. Semua ini seperti ilusi saja. Seperti angan-angan. Seperti fatamorgana akibat kelelahan dan putus asa berjalan, di tengah-tengah padang gurun yang tidak bertepi.
Ibuku, di kamarnya, sedang berteriak membentak dan menangis pada ayah di ujung telepon. Namaku juga disebut-sebut beberapa kali. Mereka sedang bertengkar karena aku. Ini bukan de ja vu lagi. Kisah lama yang terulang kembali. Sama seperti saat di Bandung dulu, di rumah megah tempat keluargaku pernah bahagia. Mereka kembali menjadikanku tokoh utama pertengkaran mereka.
Aku mengira pertengkaran mereka tidak akan lama, maka aku hanya berbaring begitu saja di tempat tidur. Semakin lama ternyata pertengkaran itu tidak juga mereda, dan tetap saja aku yang menjadi topik utama mereka. Memperebutkanku, merasa paling berjasa merawatku, dan merasa paling berhak sebagai orang tua. Mereka, sedari dulu tidak pernah tahu apa sebenarnya yang kuinginkan.