Tanpa Kata

Mayhtt
Chapter #64

Isi Doa

POV David, tentang isi doanya di Gereja sebelum ke TWI. Berdasarkan curhatan David pada Agitha ketika sudah pindah ke Bandung.

Di teras Gereja itu, berbalut gaun putih dan rambut yang terturai ditiup angin, kau di sana berdiri sangat mempesona. Betapa sempurna ciptaan Tuhan, ucapku di dalam hati. Betapa tidak layaknya aku ada di sampingmu. Jika aku mau jujur dengan diriku sendiri, kau terlalu jauh untuk bisa kugapai. Aku bukan orang yang bisa kau andalkan nantinya. Kau hanya akan berakhir menangisiku atau mungkin ikut menyerah seperti kedua orang tuaku. Dan...betapa sempurnanya nanti hidupmu jika Adam yang sama sempurnanya denganmu, bersanding di sisimu nanti. Mungkin kalian memang diciptakan untuk bersama.

Drewi...tapi sekali lagi, aku ingin tetap bersikukuh, aku ingin egois. Sekali ini saja. Aku ingin takdir itu milikku.

Aku ingin aku yang ada di sampingmu. Aku ingin bahagiaku bersamamu. Bisakah aku yang terlahir tidak sempurna ini di keluarga yang tidak sempurna juga, bisa bersanding denganmu yang jelas-jelas jauh sekali untuk kugapai?

Dalam beribu ragu, aku menghampirimu. Berjuta-juta perdebatan di kepala, berjuta-juta kalimat-kalimat rendah diri, dan kulawan itu semua dengan harapan. Akhirnya, aku berhasil tetap maju menghampirimu.

Aku tetap maju karena aku tahu, walau betapa susah mencapai tempatmu, pada akhirnya, berada di sampingmu sanggup tenagkan badai. Redam perdebatan batin, mengalunkan musik-musik penenang hingga aku tidak butuh apapun lagi. Aku tidak butuh menangis sambil mendengarkan musik lagi. Cukup dengan melihatmu, berada di sampingmu, itu saja sanggup mengatasi semua.

Seandainya saja kau adalah pacarku, aku pasti sudah menggenggam tanganmu. Agar laki-laki lain yang lalu-lalang terpesona melihatmu tahu, bahwa kau adalah milikku dan aku adalah milikmu. Mereka tidak akan bisa sembarangan lagi melihatmu seperti itu. Aku cemburu, Andrewi.

Dam kami masuk duluan

Send

kukirimkan pesan itu agar aku punya alasan untuk mengajakmu masuk ke dalam Gereja, dan cemburu tidak semakin menguasai.

Gereja....

Gereja adalah salah satu tempat paling damai yang pernah kutemukan. Aku memang tidak terlalu religius, tidak aktif sama sekali di perkumpulan, tapi Gereja adalah tempat favoritku. Di dalam Gereja aku seakan-akan sedang mengadakan gladi resik pertemuan dengan Tuhan.

Aku tidak tahu apa dan bagaimana itu surga, maka setiap kali aku masuk ke dalam Gereja, akan selalu membuatku berkhayal bahwa aku sedang memasuki surga. Kira-kira seperti inilah nanti saat aku sudah tidak ada di dunia ini lagi, pikirku setiap kali melihat isi gereja. Jadi, ketika aku sedang kesakitan parah seperti nyawaku sudah di ujung, cukup membayangkan gladi resik itu saja sudah cukup juga menenangkan.

Sebelum bertemu dengan Andrewi dan teman-temanku, bertemu dengan Bapa adalah keinginan terbesarku.

Satu hal yang membuatku tetap tenang jika aku merasa “inilah waktunya” adalah, pada akhirnya aku akan bertemu dengan-Nya. Di tempat-Nya. Di sana, aku tidak akan merasakan sakit, dan tidak akan mendengar pertengkaran orang tuaku lagi. Di sana akan ada kebahagiaan abadi, kebahagiaan yang tidak akan pergi meninggalkanku. 

Sampai akhirnya, Andrewi muncul. Aku pun memiliki keinginan lain. Tidak lagi berdoa agar bisa bertemu dengan Bapa secepatnya. Tidak lagi merayu-rayu Bapa agar aku di tempatkan di surga bersama-Nya. Tidak lagi memohon-mohon agar dijauhkan dari api neraka. Tidak lagi berdoa agar sahabat-sahabat dan kakakku diberikan penghiburan, dan tidak larut dalam kesedihan jika aku pergi.

Doaku sudah berganti. Sebagian besar sudah berbanding terbalik dengan doa kemarin-kemarin.

Di dalam doaku setelah bertemu Andrewi adalah...

Aku ingin hidup.

Di dalam gereja, duduk di dekat Andrewi, doa yang sama kupanjatkan. Aku tidak ingin lagi cepat-cepat bertemu Bapa di sana. Sebaliknya, aku ingin diberi waktu. Sambil memandang salib, aku ucapkan semua keinginan di dalam hati.

Lama kelamaan doaku berubah menjadi tuntutan.

Lihat selengkapnya