Semua hal yang ada di bawah langit, adalah semua yang telah ditakdirkan. Masalah apa pun hanyalah hitungan waktu, kehampaan adalah bagian dari waktu, takdir juga adalah bagian dari waktu. Ketika hari sudah selesai, takdir akan berjalan lagi seiring dengan waktu.
Waktu tidak hanya tidak mau menunggu manusia, tapi juga takdir. Tidak ada yang bisa membuat waktu menunggu. Sama halnya, tidak ada yang bisa mengulang dan mengubah waktu. Begitu juga takdir.
Belum habis bekas tangis dari wajahnya setelah pulang dari rumah sakit, David sudah siap siaga menunggu Adam di jembatan Batu Dua. Jembatan Batu dua adalah jembatan yang menghubungkan jalan Sisingamangaraja menuju daerah Kilometer Dua dan daerah seterusnya. Pagi dan sore, biasanya banyak orang di jembatan menunggu mobil sewa.
Sore menjelang malam, tepat saat David menunggu Adam, jalanan sudah mulai sepi. Kendaraan juga sudah mulai jarang berlalu-lalang. Beberapa lampu jalan, suara aliran sungai Batu Dua, serta kolam tambak ikan di bawah sana menemani David mengikis waktu. Tak lupa juga sambil mempersiapkan beberapa kalimat untuk dia sampaikan pada Adam.
Adam yang juga sudah selesai
Motornya terparkir tepat di depannya. Dia bersender pada tembok tinggi jembatan sambil melipat kedua tangan. Sesampainya tadi di rumah, Adam mengirimkan pesan untuk bertemu. Hanya berdua tanpa orang lain tahu. David menyetujui sebab dia juga ingin menyampaikan sesuatu, tentang Andrewi.
Sebelum berangkat, ibu David berpesan untuk menelepon ayahnya untuk membicarakan tentang rencana kembali ke Bandung. David hanya menjawab sekenanya, tanpa berniat melakukan apa yang di suruh ibunya. Dia masih sangat membenci keadaan, di mana dia harus dihadapkan kembali pada situasi memilih antara ayah atau ibunya. Terlalu banyak hal yang harus dia hadapi sekaligus.
Beberapa menit kemudian suara motor yang sangat dikenali David terdengar. Kepalanya terangkat melihat motor Adam mendekat, dan berhenti tepat di depan motornya.
“Kenapa nggak ikut ke rumah sakit, Dave?” Adam belum turun dari motor, tapi sudah menyambar David dengan pertanyaannya setelah kaca helm terbuka. Di sana sepasang mata Adam tajam menohok, membuat David melayangkan pandangannya ke arah lain. Dia berbalik badan membelakangi Adam dan memandang aliran Sungai.
“Harusnya kita semua yang datang ke sana, bukan cuma Dani dan orang tuanya.”
David melihat sekilas Adam yang sudah berdiri di sampingnya masih menggunakan helm. Gelagatnya seperti orang yang ingin mengajak berkelahi. Ketegangan mewarnai udara di sekitar mereka.
“Biar Dani ajalah. Dia sendiri yang mau.”