Satu hari setelah Andrewi pulang ke rumah, Dani dan orang tuanya datang kembali menjenguk. Begitu ayah Dani pulang dari luar kota, dia memaksa untuk ke rumah Andrewi, ikut meminta maaf langsung. Sebagai kepala keluarga, dia tidak ingin anak-anaknya terlibat masalah. Secepatnya harus diselesaikan dan dituntaskan. Ibu Dani setuju dan membelikan beberapa makanan sebagai buah tangan.
Di pintu pagar rumah, ayah Andrewi menyambut dengan wajah sedikit masam. Walau pun sudah tahu Andrewi pergi beramai-ramai dengan yang lainnya ke TWI, dia tetap belum terima putrinya pergi tanpa izinnya.
Sore hari di depan keluarga Andrewi dan keluarganya sendiri, Dani meminta maaf kembali. Ayah Dani ikut meminta maaf atas nama Dani dan menjelaskan mengapa tidak ikut menjenguk ke rumah sakit.
Walau ini bukan murni kesalahannya, tapi Dani sudah mengajukan diri untuk menanggung semua. Sebagai ganjaran pengorbanan, tak disangka dia malah bertemu keluarga Andrewi. Ada sekelebat rasa senang di hati saat memasuki rumah Andrewi dan bertemu keluarganya. Meski harus ketakutan saat Ayah Andrewi masih menatap galak. Dani juga terkejut saat mendapati ternyata Rio adalah adik Andrewi. Begitu juga dengan Rio. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan Dani yang diam-diam dia ido.
Rio adalah anak kecil yang pernah meminta bantuannya menemukan lokasi lapangan basket saat kegiatan penerimaan siswa baru 2 tahun yang lalu. Dani dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan Rio dari awal sampai akhir. Rio juga yang memaksa meminta nomor handphone karena dia ingin bertanya-tanya tentang basket. Padahal meski memang Dani suka sekali dengan basket, dia sendiri malah tidak tahu cara bermain basket. Dia hanya sekedar mengagumi dan mengidolakan beberapa pemain basket, yang kebetulan sama dengan idola Rio. Mereka berdua sama-sama menyukai bola basket.
Sejak itu Rio dan Dani sering bertukar informasi mengenai pemain basket idola mereka. Sesekali Rio menanyakan tugas sekolah, dan meminta saran saat sedang kebingungan. Mereka memang baru sekali bertemu tetapi pembicaaan mereka sudah akrab. Saat melihat Rio, Dani sedikit lega dan juga bahagia. Dia tidak menyangka ternyata selama ini begitu dekatnya dia dengan Andrewi, meski tidak secara langsung.
“Sebenarnya yang di rumah sakit juga sudah cukup, kalau memang mau meminta maaf. Kami jadi tidak enak karena Andrewinya sendiri sudah baikan.”
“Iya, ini suami saya yang mau, mbak. Takut Daninya bikin masalah besar katanya. Kami sangat khawatir karena sebenarnya Dani ini tidak pernah bermasalah sebelumnya. Makanya waktu kita dikabari, ayahnya langsung ketar-ketir, karena memang pada dasarnya anaknya baik, enggak pernah neko-neko.”
“Akh...suami saya saja yang terlalu emosi. Biasalah, anak cewe satu-satunya, anak pertama pula. Padahal, namanya juga anak remaja, memang lagi romantis-romantisnya, kan.”
“Iya, mbak. Jadi ingat masa-masa sekolah dulu.”
“Iya...ahahahha,” tawa mereka akrab ditemani teh manis dan kue-kue kering.
Sementara Ayah Dani dan Ayah Andrewi berbincang membahas taman rumah Andrewi yang tampak indah, Ibu Andrewi dan Ibu Dani berbincang-bincang di ruang tamu. Setelah suasana tegang di awal, kedua keluarga itu menjadi akrab. Apalagi ternyata ayah Andrewi dan Ayah Dani memiliki hobi yang sama, berkebun.
Dani ikut menemani di luar dengan kepala tertunduk. Sementara Rio, di sampingnya senyum-senyum sendiri masih tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan Dani.
“Memang begitulah anak laki-laki ini, lae. Kalau tidak dikasih peringatan, jadi bikin masalah kemana-mana.”
“Ya, sudahlah, lae. Di rumah sakit juga sudah saya jelaskan maksud dan tujuan saya marah. Tidak usah dihukumlah. Saya kira mereka pergi berduaan makanya saya sampai meledak-ledak emosinya. Ternyata teman-temannya juga ikut, termasuk si Shaniar teman akrabnya Andrewi.”
“Mauliate ma di hamu, lae. Anakku ini orang baiknya, bukan yang brandalan. Prestasinya sekolahnya juga banyak, jadi tidak mungkin sampai yang bagaimana-bagaimana kalau bikin masalah.”
“Memang kelihatan juga dari cara bicaranya. Tapi tetaplah, lain kali harus izin dulu kalau mau jalan-jalan sama anak tulang, ya, Dani. Jangan langsung bawa-bawa anak perempuan orang. Orang tuanya masih ada, paling nanti tulang tanya-tanya sedikit. Enggak langsung diusir.”
“Dengar itu, Dani.”
“Iya, pak. Iya tulang.”
“Ya, sudah. Sudah capek kau dari tadi kita nasehati terus. Makanlah dulu pisang goreng itu. Buatan nantulangmu itu. Jago dia itu masak.”
“Iya, tulang. Terimakasih.” Dani mengambil pisang goreng hangat suguhan ibu Andrewi. Ditemani kopi dan teh manis panas, pembicaraan mereka menjadi hangat pula berbalut angin sore yang sepoi-sepoi.
“Ayah, tapi Rio tetap dukung bang Dani, karna bang Dani sering bantu Rio ngerjain PR. Trus bang Dani juga banyak hapal pemain-pemain basket. Iya kan, bang Dan?”
Dani yang masih belum berani menatap ayah Andrewi pun mengangguk saja, sambil tersenyum kaku. Syukurlah ada Rio di sampingnya menemani, agar tidak terlalu menciut di hadapan ayah Andrewi.
“Bah…dari amang boru itu dia tahu. Abangnya juga suka bola basket. Bedanya, aku sama abangnya bisa main basket, kalau dia nggak bisa. Si Dani ini pintarnya belajar sama main musik aja, keturunan dari mamaknya yang jago main alat musik.”
“Berarti paslah kalau bang Dani jadi pacar kak Andrewi. Iya, kan ayah?”
“Uhukk....uhukkk,” Dani terbatuk tersedak pisang goreng.
Ayahnya, ayah Andrewi dan Rio tertawa kencang. Wajah Dani memerah. Diminumnya teh manis hangat untuk melegakan tenggorokan dan batinnya yang bergejolak.
“Ada baiknya, kau minta maaf jugalah langsung sama Andrewi, Dani. Siapa tahu dia sudah bangun. Rio, antarkan dulu ke kamar kakakmu.”
“Siap, ayah. Demi abang ipar.” Rio menghormat siap dan disambut tawa lagi oleh mereka.
Dani bangkit dari tempat duduknya mengkikuti Rio, masih menunduk malu. “Permisi Om,” ucapnya sambil lewat.
“Tulang, Dani. Bukan Om,” sahut ayah Dani.
“Permisi tulang,” Dani meringis.