“Dave, menurutku kau harus kasih tahu Andrewi tentang kepindahanmu, supaya dia tidak kebingungan. Kalau perlu secepatnya dia sudah harus tahu,” tegas Adam pada David. Adam dan David berjalan agak jauh di belakang teman-tamannya.
Jam istirahat sudah selesai, mereka sudah harus kembali ke kelas masing-masing. Adam sengaja memberi kode untuk berbicara kepada David, saat mereka keluar dari Kantin.
David mendengus geli dan remeh. “Jangan sok ngatur, Dam. Urus-urusanmu sendiri. Aku urus urusanku sendiri.”
Adam menarik tangan David agar berjalan lebih lama, membiarkan Bownie dan yang lainnya berjalan duluan.
“Kita jangan berdebat disini, Dave.”
“Makanya tidak usah urusi urusanku. Urus aja hubungan kalian itu. Apalagi sepertinya kemarin kalian sudah makin akrab,” penuh penekanan David menyindir Adam.
“Baguslah kalau kau sudah bisa menilai seperti itu.”
“Baguslah kalau rencanamu sudah berhasil.”
“Kalau sampai UN selesai dan Drewi belum tahu, jangan salahkan kalau aku yang memberi tahu dia langsung.” Ucap Adam sambil berjalan mendahului David, bergabung bersama teman-temannya yang lain.
David menghela nafas berat lagi, masih tidak mengerti mengapa semuanya berakhir menjadi seperti ini. Hatinya bimbang apakah harus memberitahu Andrewi dan teman-temannya bahwa dia akan pindah secepatnya.
***
2 hari lalu sebelum gladi resik....
“Kak, dua hari lagi gladi resik, ya?”
Adam menganggukkan kepala sambil tak lepas menatap Andrewi yang masih asyik mencoret-coret kertas naskah dengan pensil yang dipinjam dari Adam.
“Aku takut, kak. Masih belum percaya diri.”
“Sama.”
Andrewi mengangkat kepala, menatap tidak percaya. “Ah serius? Kakak bukannya tiap hari tampil di depan orang banyak? Kalau disuruh menghadap Presiden pun pasti bisa percaya diri, nggak gemetaran seperti aku.”
Pujian itu membahagiakan hati Adam. Dia selau senang jika Andrewi memuji pekerjaan dan kegiatannya. Pujian itu selalu berhasil membawa harapan-harapan bisa merebut hati Andrewi.
“Memang apa yang kamu takutkan?”
“Nggak tahu. Membayangkan berdiri di depan orang banyak, apalagi di atas panggung aja sudah bikin kakiku lemas.”
“Dulu, kalau tidak salah kamu pernah tampil di atas panggung, di depan banyak orang. Kamu tidak gugup sama sekali waktu itu.”
“Hah? Kapan? Yang mana?”
“Itu yang pakai backsound Keong Racun.”
“Iiiiih Kak Adam,” Andrewi mencubit lengan Adam. Adam tertawa mengusap-usap bekas cubitan.
“Tenang aja, nanti kubantu sebisa mungkin.”
“Bantu traktir ice cream sekalian, biar moodnya bagus lagi.”
“Kamu suka ice cream?”
“Sukalah. Siapa yang nggak suka ice cream?”
“Tapi di kertas profile kamu, tidak ada tertulis kalau kamu suka ice cream.” Adam cepat-cepat mengatupkan mulut dan menyesali kelalaiannya.
“Profile? Profile apa, kak?”
“Maksudnya...dari profile kamu saat ini…yang kelihatan saat ini. Dari luar kamu bukan orang yang kelihatan suka ice cream.” Tergagap dia menutupi gugup.
“Galak, yah?”
“Iya....”
“Kak Adaaaam...” Andrewi mencubit lagi lengan Adam. Kali ini sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Adam mengaduh kesakitan, menarik perhatian peserta lain termasuk David.
Dari kejauhan dia menatap mereka seksama. Beberapa kali David bersitatap dengan Andrewi, namun segera mengalihkan wajah. Jantungnya masih sama berdebarnya seperti saat pertama kali mereka bertemu dulu. Tidak ada yang berubah. Hanya dirinya yang semakin jauh, ada cemburu, marah, kesal dan tidak berdaya menyatu menggelisahkan.
Sudah di beberapa kali latihan David acuh tak acuh. Menjauh dan menghindari Andrewi. Untung saja tidak ada dialog langsung antara mereka berdua. Kalau tidak, semua orang akan tahu bagaimana kerasnya dia berusaha menjauhi Andrewi menekan rasa cinta di hati.
“Kak....”
“Ya?”
“Kak David kenapa?”