"Kak Adam, ayo bantu Drewi. Dia sampai nggak semangat ngapa-ngapain.” Shaniar menarik-narik lengan baju Adam. Dia mendatangi Adam ke ruang OSIS untuk meminta dukungan menghibur Andrewi, yang sedang terpuruk karena drama dan David yang menghindar.
"Iya, aku juga tahu, Shan. Tadi waktu evaluasi gladi resik drama, dia hampir nangis dimarahi ibu Gempal."
"Makanya, selagi Drewi masih latihan sama bu Gempal, ayo kita bujuk kak Davidnya. Kasih tahu yang di Tanjakan Cinta itu bukan salah dia. Kasih tahu kalau Andrewi lagi butuh disemangati."
"Kami sudah jelaskan kalau itu bukan salah dia, Shan. Masalahnya, David juga melihat langsung Dani dimarahi sama bapaknya Andrewi."
"Namanya juga orang tua, kak. Ayolaah...kasihan Andrewi. Hubungi kak David sekarang."
"Ya, sudah kita coba bujuk lagi. Biar kamu dengar sendiri,” ujar Adam sambil mengeluarkan handphone.
"Halo Dave, lagi dimana?"
"Ke sini sebentar. Di taman depan ruang OSIS. Ada Shaniar mau bilang sesuatu."
"Kak Dave, Aku mau bicara sesuatu yang sangaaat penting. Ke sini sebentar aja, kak."
"Ok. Kita tunggu di sini, Dave."
Lima menit kemudian, David datang tergopoh-gopoh dari arah kantin. Shaniar menyambutnya dengan lambaian tangan semangat. Tak menunggu lama cerita tentang perasaan Andrewi pun mengalir begitu saja dari Shaniar.
“Andrewi pertamakali suka itu pas ketemu kakak di depan ruang kelas, tempat kalian pertama kali latihan drama. Katanya jantungnya kaya ada yang menggedor-gedor. Ahahahha....” Shaniar tertawa menutup mulut mengingat bagaimana ekspresi Andrewi, saat menceritakan semua perasaannya terhadap David.
“Trus?” David tidak sabar mendengar cerita Shaniar. Dia mendekatkan jarak dan mengarahkan kaki ke arah Shaniar. Adam mendengar dengan kepala menunduk. Melihat tanah dan pasir-pasir kecil bersinar berkilau-kilau. Cerita itu bagai pasir-pasir tajam yang menusuk-nusuk setiap inchi hatinya.
“Setelah itu dia jadi sering memikirkan kakak. Penasaran kakak itu orang yang seperti apa. Orangnya baikkah, brandalankah, trus sudah punya pacar atau enggak, gitu. Akhirnya dia yakin suka sama kakak itu pas kalian pulang bersama. Dia giraaaang banget. Setelah itu dia jadi suka sama minuman milk shake yang suka kalian minum kalau lagi jalan. Sampai-sampai dia pernah bikin sendiri di rumah, karena katanya kakak juga suka minuman itu. Eh...tapi gagal. Ya, sudah akhirnya nggak jadilah ngasih minumannya ke kakak.”
Senyum bahagia David membeku seketika. Milk shake itu ide Adam. Milk shake, itu minuman kesukaan Adam. Di sisi kiri Shaniar, Adam mengangkat kepala terkejut, menatap sekilas David dan kembali menunduk. Tatapan sekilas yang dingin sedikit mengejek.
“Setiap kali pulang gereja kita pasti beli mikshake dulu atau coba-coba bikin pake pop ice. Walaupun enggak seenak buatan kantin sekolah, tapi itu sudah cukup bikin Andrewi senang. Hampir tiap hari Andrewi cerita berulang-ulang tentang kalian yang jalan bareng, walau cuma sampai ke halte. Sampai-sampai, Andrewi bilang, kalau sudah cukup umur mau jadi istri kakak. Sampai segitunya.”
“Jadi istriku?” Tak tertahankan bahagianya David mendengar khayalan Andrewi.
“Iya, kak. Padahal masih SMA, tapi dengan gampangnya dia berkhayal jadi istri kakak. Maklumlah, Andrewi baru kali ini jatuh cinta, makanya jadi alay. Jangan illfeel, ya, kak....”
David hanya mengangguk-angguk mengulum senyum. Shaniar tidak tahu saja David menghayalkan hal yang sama jauh sebelum Andrewi.
“Yaaa...kedengarannya memang terlalu berlebihan, tapi kalau suatu saat nanti malah ternyata benar, aku sebagai sahabatnya sangat-sangat mendukung.” Shaniar menyengir mengepalkan jari-jari kedua tangan.
“Trus...” belum sempat David menanggapai, Shaniar sudah memotong lagi dengan seruannya. “ Kakak dapat panggilan khusus dari Drewi juga. Si Lesung pipi.”
“Lesung Pipi. Lesung pipiku maksudnya?”
Shaniar mengangguk. “Maaf ya kak, jujur, kalau yang ini memang alay. Cuma mau bagaimana lagi, dia sahabatku. Mau nggak mau, aku ikut manggil kakak pake nama itu. Supaya Andrewi nggak malu sendirian.”
David tertawa terbahak. Lepas. Di hatinya ada lega yang menjalar, menyusup disetiap inci dindingnya. Ada air hangat yang menyelimuti semua gelisah, sedih dan kesakitan. Bagai ada cahaya indah matahari pagi, menyinari sudut hati yang sudah lama berdebu, kosong dan gelap gulita.
Semakin berlanjut cerita Shaniar, semakin telak kemenangan yang dia raih, tepat di depan Adam. Dalam puas karena kemenangan, ada juga muncul tanya : “Lalu selanjutnya apa?”
Hidupnya sudah terlanjur tidak bisa kembali utuh. Keluarga dan persahabatannya sudah terlanjur hancur. Sudah tidak baik-baik saja.
Atau....apakah ini kesempatan kedua yang diberikan padanya setelah ketamakan di awal kebahagiaan kemarin-kemarin? Kali ini apakah akan menjadi ketamakan juga jika menginginkan hidup bersama Andrewi, yang jelas-jelas memiliki perasaan yang sama. Membiarkan saja persahabatannya dengan Adam semakin nyata di ujung kehancuran? Atau dia lebih baik mundur, fokus pada diri dan keluarganya saja? Karena bila belajar dari pengalaman yang kemarin, sudah tidak mungkin lagi merengkuh semua itu sekaligus.
….
Di rumah David, bunda Adelia, duduk di sofa ruang tamu, sedang serius merangkai bunga-bunga yang tak habis terjual. Bunga-bunga itu nantinya yang akan diberikan ke tetangga-tetangga. Handphonenya di atas meja berbunyi dengan nama Diva tertera di layar.
“Bunda, kenapa sih hidup Diva jadi seperti ini?”
“Diva, ada apa sih tiba-tiba ngomongnya aneh gitu, nak? Kamu nggak ada kuliah hari ini?”
“Bunda, Diva dari kemarin-kemarin mikir. Apa keluarga kita berantakan karena Diva, ya? Orangtua Diva saja membuang Diva. Pasti karna Diva semua ini jadi hancur. Harusnya Diva nggak usah bunda angkat jadi anak bunda. Diva cuma bawa sial ke keluarga bunda.”
“Sayaang...” panggil Adelia pelan dan lembut menenangkan tangis Diva. Tanpa terasa air matanya juga ikut menetes merasakan perih itu.
“Harusnya Diva nggak usah jadi anak siapa pun, harusnya Diva memang lebih baik di panti asuhan atau di jalanan aja.”