Tanpa Kata

Mayhtt
Chapter #70

Detik Penentu

Sesaat, hati bisa merasa yakin, sangat yakin, ketika berada pada “Detik Penentu”. Lalu, bisa juga sesaat kemudian, keyakinan itu berubah sebaliknya. Bagai langit sore yang menjadi hitam, saat matahari sudah kembali pulang ke ujung samudera.

Banyak “seandai-andainya” tercipta ketika detik-detik penentu sudah terlewat. Ada banyak harapan-harapan lama muncul ketika detik-detik penentu teringat kembali. Mengingat kembali kenangan-kenangan, mengingat kembali moment-moment, kadang terpikir untuk memutar semua kembali. Walau, pada akhirnya, tidak akan kembali lagi detik itu. Tidak akan muncul lagi atau tidak akan sama lagi, semua yang ada di dalam moment-moment detik penentu.

Akan tetapi, ada satu keputusan hebat tercipta saat sudah sampai di detik-detik penentu. Apa pun hasil dari keputusan, pada akhirnya, hanya orang-orang hebat yang berhasil mengambil keputusan di saat genting. Orang-orang yang bermental kuat yang bisa berhasil menjalani kehidupan setelah detik penentu lewat. Berjalan dan bertahan sampai akhir, dengan menggengam hasil dari keputusan yang telah dibuat. 

David duduk sendirian di backstage. Belum ada orang karena ia memang sengaja datang pagi-pagi untuk mengatasi gugup. Hampir saja dia batal untuk meneruskan pertunjukan, kalau saja Agitha tidak meminta bantuannya mengantar ke sekolah. Agitha harus dandan lebih pagi bersama grup vokalnya.

“Dave, Wiiih keren amat broo…” Dani ditemani oleh Sano, menghampiri David yang sedang ayik membersihkan celananya dari debu-debu.

Bahan kain celana yang dipakainya memiliki kualitas yang tidak bagus, sampai-sampai debu suka sekali bersarang. Apa boleh buat, pihak sekolah sudah mempersiapkan ini, dia tidak bisa protes dan meminta uangnya kembali. Kalau dipikir-pikir, dengan uang segitu, harusnya bisa saja membeli sendiri pakaian yang berkualitas lebih bagus.

“Tumben-tumbenan bro  kita yang satu ini morning person.”

“Tadi aku mengantar Agitha dulu.”

“Bukan mau menunggu si anu-anu?”

“Pake nanya lagi kau ini, No. Sudah pastilah. Cinta membara ini, cinta membara…” bisik Dani ke telinga Sano, dengan suara sengaja dibuat kencang.

Dani dan Sano mulai saling sahut menyahut menggoda David, sampai dia menarik nafas pasrah. David menutup telinga dan akhirnya menyingkir ke sudut ruangan. Tiba-tiba pintu backstage terbuka, menghempas dinding. Adam berdiri di pintu bersama nafas yang masih memburu.

“David di mana?” tanyanya dingin penuh emosi.

“Kenapa, Dam?”

Adam menghampiri David ke tempat dia menyahut. Tanpa menjawab, Adam menarik kerah kemeja David.

“Woo...woo. Tenang, Dam. Tenang. Slow.” Dani dan Sano tergopoh-gopoh menarik genggaman Adam. Sementara David pasrah, dia dapat menebak mengapa Adam marah.

“Coba jelaskan ini,” perintahnya. Adam menunjukkan isi pesan Agitha yan baru saja diterima, dengan sebelah tangan masih menarik kerah kemeja.

David tersenyum datar setelah membaca pesan itu.

“Lihat? Kalian lihat si bangsat ini?”

“Pesan siapa, Dam? Apa isinya? Kenapa kalian jadi bertengkar seperti ini?”

Adam melepas tarikannya dan memberikan handphone pada Dani. Nafasnya masih saja memburu. Menyadari perubahan ekspresi Dani dan Sano, David pun  menundukkan kepala. Tanggannya terkepal kesal, karena Agitha berani sekali memberitahu tanpa meminta izin terlebih dahulu. Meski dia juga sedikit lega pikirannya yang rumit dari malam hingga pagi tadi, sebagian telah hilang.

“Padahal....” Adam kembali membuka suaranya. “Dari awal kita semua mendukungmu, Dave. Kami selalu ada di sampingmu, mendahulukanmu. Kau anggap apa kita selama ini, Dave? Hah?! Kau anggap apa?!” Kerah kemeja David kembali jadi sasaran kemarahan Adam. Suara Adam pun berubah menjadi teriakan.

Dani dan Sano kembali melerai. David tetap terdiam memasrahkan semuanya. Tidak ada celah lagi untuknya menjelaskan. Sekalipun ada celah, dia belum berani menceritakan semua tentang maslah keluarganya. Kehidupannya begitu menyedihkan hingga dia tidak ingin orang mengasihani.

“Jawab bangsat!” Adam melepas cengkraman dan mendorong David, hingga dia hampir terjatuh menabrak tembok di belakang. Sano segera menolong David, sedangkan Dani menenangkan Adam.

“Jangan pernah kembali lagi ke Sidikalang ini, Dave. Sekalipun jangan. Kau itu terlalu bangsat untuk jadi warga Sidikalang ini. Kau terlalu tidak tahu diri, terlalu egois dan tidak tahu malu. Apa pun yang menjadi alasanmu pergi tiba-tiba seperti ini, aku khususnya, sudah tidak mau tahu lagi. Kau tidak pantas menerima persahabatan yang kami berikan. Kau tidak pantas jadi sahabat siapa pun.”

David tertunduk menahan tangisnya ditunjuk-tunjuk dan dibentak-bentak oleh Adam. Tak ada jalan keluar lagi untuknya menjelaskan. Di saat-saat seperti itu, yang biasanya dia lakukan hanyalah terdiam saja. Semua hal yang ada dalam pikiran dan hatinya tak mau keluar, sama sekali. Hanya terdiam dan pasrah. Begitulah caranya bertahan dari rasa sakit.

“Hari ini, kau bukan sahabat siapa pun lagi. Khususnya bukan sahabatku. Terserah mereka menganggapmu apa, tapi aku tidak sudi lagi menganggapmu sebagai sahabat. Kau mau melakukan apa pun di sana, aku tidak akan pernah peduli lagi. Silahkan pergi sesukamu.”

Sano dan Dani terdiam saling menatap bingung. Tidak percaya melihat Adam pergi, setelah menguapkan kalimat panjang dengan air mata dan suara bergetar. Mereka tidak tahu harus melakukan apa. Mereka bisa merasakan betapa Adam sangat marah, tidak terima akan kepergian David, tapi tidak menyangka bahwa dia akan menangis.

Suara isak tangis David yang sudah terduduk dan tertunduk, menyadarkan mereka bahwa kepergian David memang bukan hal yang bisa ditawar-tawar lagi. Dia harus pergi dan itulah keadaannya.

***  

“Tadinya kukira kakak sudah ngomong sama mereka. Soalnya, tadi pagi aku baru baca pesan kak Adam, aku disuruh ngajakin Shaniar sama Drewi ikut ke puncak. Menginap di rumah mereka yang ada di sana.” Di jalan ke rumah Dani, sepulang dari Pensi, David melampiaskan kekesalannya pada Agitha.

“Mau ngapain ke sana?”

“Kata kak Adam, mau bikin acara perpisahan gitu buat kakak. Andrewi diajak sekalian, supaya kakak bisa nembak dia. Biar kalau sudah di Bandung, kakak bisa fokus sama perawatan aja, gitu. Ini pesannya,” Agitha menunjukkan isi pesan Facebook Adam. Isi pesan itu bereret ke bawah berserta acara-acara yang akan mereka lakukan di puncak. Ada acara bakar-bakaran, menyanyi, dan games.

“Ck!” David memukul keningnya berkali-kali. “Bodoh-bodoh,” ucapnya pada diri sendiri. Pantas saja Adam marah besar tadi. Adam hanya ingin yang terbaik untuknya, sedangkan dia tidak melakukan apa pun untuk Adam. Untuk sahabat-sahabatnya yang lain juga.

“Kak udah, jangan gitu.” Agitha menarik tangan David, agar tidak semakin memukul-mukul kepalanya sendiri.

“Nanti di Bandung saja aku jelaskan ke Adam. Kalau aku jelaskan sekarang, pasti dia tidak akan mendengar. Dia masih terlalu marah. Iya kan, Git? Aku benar, kan?”

Agitha menggenggam erat tangan David. “Iya, aku setuju. Kalau kakak juga belum siap, tidak usah dipaksa. Bagaimana pun juga kalian sahabat, pasti pada akhirnya akan saling mengerti. Aku yakin.”

“Ya sudah, kamu pulang duluan aja. Aku masih ada urusan sebentar.”

“Urusan sama kak Adam?”

“Bukan. Tadi aku sudah titip maaf sama Dani. Untungnya Dani dan yang lainnya mau mengerti.”

“Trus kakak mau ngapain lagi di sini? Aku kira kakak lagi nungguin aku. Bukannya sebentar lagi kita mau berangkat?”

“Drewi. Aku menunggu Andrewi keluar dari gerbang itu. Kalau pun aku tidak berani mengungkapkan perasaanku, setidaknya aku ingin berpamitan.”

“Padahal kakak sudah berjuang sekuat tenaga demi dia. Dianya malah asyik dengan kegiatannya sendiri. Padahal ada aku yang paham semua tentang kakak, tapi kenapa harus Andrewi yang kakak harapkan?” Agitha bersedekap tangan sambil menatap gerbang sekolah dari pinggir jalan.

“Githa, dia tidak salah. Aku yang salah. Aku yang suka dia, sementara kamu masih ada si sampingku….”

“Iya...iya.. kakak sudah pernah ngomong gitu.”

Lama mereka berdiri di sana. Tidak ada tanda-tanda Andrewi keluar. David putus asa setelah membaca pesan ibunya yang sudah siap untuk berangkat. Sudah terlalu lama menunggu, David pun membujuk Agitha untuk membantu. Berjanji bahwa itu akan jadi permintaanya yang terakhir, dan tak akan pernah lagi menggangu untuk selanjutnya.

Agita terkejut dengan ucapan David. Dia teringat akan mimpi aneh tadi malam, memancing firasat-firasat aneh muncul kembali. Suara-suara hatinya berseru-seru menyuarakan komitmen yang dia ucapkan pada dirinya sendiri. Untuk selalu ada di samping David, selalu siap untuknya.

Dengan hati yang tegar di tengah kepingan-kepingan ego yang sudah hancur, Agitha berjalan diiringi ucapan terima kasih dan senyum manis David. Senyum tulus. Senyum yang mirip seperti di mimpi kemarin.

Ditemani angin-angin ramah, hati yang berlapang dada, komitmen yang kuat, Agitha pun melangkah ringan, menuju gerbang sekolah. Dia akan mencari Andrewi dan membawanya ke hadapan David. Agar pria yang dicintainya itu bisa merengkuh kebahagiaan, meski tahu kebahagiaan itu tidak akan bertahan lama.

 

Nak, Diva sudah sadar

Kita berangkat sekarang ya.

Diva nyariin kita.

 Read

Deg!!!

Lagi-lagi hal seperti ini terjadi. Lagi-lagi tidak ada waktu untuknya berkompromi. David dengan segala waktu yang masih ada memanuver keadaan, mengirimkan pesan pada Agitha untuk membatalkan rencana.

Lihat selengkapnya