Menangis itu perlu. Entah untuk kau perempuan atau laki-laki. Sebab, luka bisa saja menghampiri setiap orang, tidak mengenal gender, status dan keadaan. Dalam air mata dan usaha mengeluarkan air mata, ada beban yang keluar secara tidak langsung. Takut dan ragu hilang, sesak hati sirna.
Cinta harus diungkapkan, baik engkau perempuan maupun laki-laki. Baik ketika masih kecil maupun sudah dewasa, karena cinta menghampiri setiap orang. Sekali lagi, tanpa mengenal siapa pun itu. Saat cinta diucapkan, bukan hanya untuk menunjukkan hatimu, tapi juga untuk mengambil bagian hati yang mencinta. Agar tidak menimbulkan sesuatu yang tidak kita duga.
Sekalipun kau ditolak, sekalipun hati dipatahkan, setidaknya tidak ada luka yang terpendam. Kau bisa mengambil langkah selanjutnya. Kau bisa bangkit lagi. Berjalan lagi tanpa ada yaang mengendap dalam hati. Terluka dengan lega, terluka dengan ringan , terluka dengan pasti.
Kita harus bisa melihat posisi kita ketika mencintai, karena terkadang kita hanya perlu mengungkapkan. Tidak harus selalu memiliki. Memiliki adalah saat dia dan semesta di sekitarmu, mendukungmu berada di jalur yang seharusnya. Jika tidak, tolonglah lepaskan. Dia bukan untukmu. Jangan menyakiti dirimu dan siapa pun yang sebenarnya berhak akan balasan cintanya.
"Woow...pembukaan yang bagus," Hanna memuji Sri yang baru saja membacakan pembukaan untuk bab terakhir. Buku tebal kemarin itu masih terus direvisi demi melengkapi apa saja yang kurang. Mulai dari anggapan Andrewi ketika membaca per-bab, memori-memori yang tumpang tindih, sampai rincian-rincian yang tertinggal lainnya.
Untuk bab terakhr ini, Andrewi yang memintanya sendiri. Meminta berbicara di ruangan tersendiri dan di rekam. Di temani personil lengkap, Hanna dan Sri berinisiatif menyambungkan kamera, dari ruangan Andrewi ke ruangan tempat mereka.
"Bakatmu harus terus diasah serius, Sri."
"Sra Sri Sra Sri...Nggak sopan sama yang lebih tua." Hanna menoyor kepala Dani. Mereka bertiga sedari tadi fokus di depan layar laptop Sri.
"Nggak berubah-berubah nakalmu itu, Dan," Bownie menyahut dari belakang.
"Udah…udah...semua duduk di kursi masing-masing. Kameranya sudah diaktifin sama Andrewi." Agitha menunjuk ke arah layar proyektor. Di sana Andrewi sedang sibuk merapikan posisi kamera.
"Guys...minuman datang." Shaniar dan Sano datang dengan membawa makanan dan minuman lengkap.
"Bah!! udah kaya di bioskop aja lama-lama."
"Udah makan ajalah Bownie. Banyak kali cingcongmu." Dani menghampiri tempat duduk Bownie dan Adam. Dia duduk di samping Adam.
"Sudah dikasih gratis malah komplain.”
“Memang," sahut Adam. Dani dan Adam saling berhigh five, berhasil membuat Bownie terdiam dan melengos menyeruput milk tea.
Di kafe waktu itu, mereka berdua sudah berdamai. Secara dadakan diprakarsai oleh Bownie yang miris akan keadaan di depan matanya, mereka semua mengadakan sesi berbicara. Mengungkapkan apa yang di dalam hati tentang David. Saling meminta maaf dan memaafkan, juga saling menguatkan. Sampai malam larut mereka berbincang-bincang, dan melupakan dekorasi-dekorasi yang seharusnya dibuat untuk melancarkan rencana Dani melamar Andrewi.
Adam meminta maaf kepada mereka semua atas apa yang telah dia lakukan dulu. Dia juga mengungkapkan perasaanya pada Andrewi, secara terang-terangan. Pertemuan di gerbang sekolah, puisi yang sampai sekarang masih dia simpan rapi, drama dan semua yang dulu hendak dia ungkapkan. Kesempatan spesial itu telah disetujui oleh mereka semua.
Mereka sepakat, setelah keluar dari kafe, hati mereka semua sudah dalam keadaan damai.
"Tess...Tess…." Andrewi mulai berbicara di kamera. Kedua tangannya mendekap erat buku tebal, yang belakangan ini sering dibaca berulang-ulang.
"Dam, matanya biasa aja. Pawangnya ada di sampingmu," bisik Bownie pada Adam.
"Bownie si Bangsat," bisik Adam membalas memiting leher Bownie.
"Ssssttt...kak udah mulai," Shaniar melotot menghentikan candaan mereka. Issano, di sampingnya geleng-geleng kepala meliha tingkah mereka yang belum berubah.
***
"Kak David….”
Hanya dua kata yang mampu keluar, lalu berganti dengan isak tangis. Dari sebelah ruangan, Dani menarik nafas, menahan diri untuk tidak berlari ke ruangan Andrewi untuk memeluknya. Di layar besar dinding kelas, Andrewi terlihat menangis sambil menutup wajahnya dengan tangan. Adam mengusap-usap bahu Dani, menenangkannya.
Kak Dani…entah kenapa mengajakku lagi ke kota ini. Kota Sidikalang.
Kak Dani meyakinkanku untuk pulang ke sini, setelah menolak berkali-kali. Aku merasa tidak ada masalah dengan kota ini, setidaknya itu yang aku tahu. Aku tidak tahu kenapa...mengapa aku tidak mau pulang setelah tahu tentang ceritamu. Meski aku tidak juga merasakan apa pun saat tinggal di Bandung, tapi aku tahu pasti, aku tenang dan nyaman di sana.