Di Halaman Pertama, sebuah kafe aesthethic di Jakarta Timur, Sri gelisah menunggu kedatangan Hanna. Di meja outdoor berlatar belakang bar minuman dan langit sore oranye, tangan kanannya menggaruk-garuk lengan kiri, yang sama sekali tidak gatal. Kakinya di bawah meja bergerak-gerak cepat.
Dua botol air mineral, 1 gelas Te’Alla Fragolla yang hampir habis dan 1 gelas Bonbon Noir yang masih utuh, berkumpul di atas meja, teronggok begitu saja. Dua slice Pepperoni pizza masih tersisa di atas nampan berbentuk talenan kayu bulat, dengan gagang tidak terlalu panjang.
Gw udh di parkiran
Read
Pesan Hanna masuk ke dalam ponselnya dan semakin bergetarlah kaki Sri di bawah meja.
“Mas,” dia mengangkat tangan memanggil waitress kafe. “Saya mau pesan Churros and Hot Matcha Latte satu, ya. Dan tolong, ini diangkutin aja, tapi air mineralnya jangan,” ucapnya segera setelah waitress menghampirinya.
“Sri…Sri Indah Wahyuni.” Suara Hanna dari kejauhan memanggilnya sambil melambaikan tangan. Mendengar nama lengkapnya dipanggil, Sri menoleh dan tertawa kecil begitu melihat Hanna melambai dengan heboh. Setelah mengucapkan terimakasih pada waitress, Sri berjalan menghampiri Hanna yang juga berlari ke arahnya.
Mereka pun berpelukan melepaskan rindu setelah beberapa tahun tidak bertemu.
“Apa kabar, Sri? Makin cakep aja, awet muda banget lo.” Tanya Hanna masih sama hebohnya, sambil merangkul Sri berjalan ke meja mereka.
“Well actually…not really good.”
“Ok…is there anything I can do to help?”
“That’s why I wanted to meet you here. Silahkan duduk dulu, Han.” Sri mempersilahkan Hanna duduk dengan isyarat tangan. “Makanan dan minuman pesanan lo, baru gw pesenin tadi. Kalau lo haus, minum air mineral ini dulu aja. Masih baru, belum gue buka sama sekali.”
“Thank you.” Hanna meletakkan tas ke atas kursi di sampingnya, lalu duduk dan meletakkan ke dua tangannya yang saling menggenggam ke atas meja. “So…kita mau basa-basi dulu atau mau straight to the point aja?”
“Langsung aja. Gue nggak enak ganggu lo lama-lama.”
“Ish kaya sama orang lain aja. Santai.”
Sri terkekeh malu. Kakinya di bawah meja mulai bergerak-gerak lagi.
“Eh, btw sorry mejanya masih kotor, tadi gue udah minta tolong ke waitressnya, mungkin mereka lagi sibuk.”
“It’s ok. Tadi lo habis ada acara di sini?” tanya Hanna memelankan suaranya, memperhatikan gelagat Sri yang mulai terlihat aneh. Mulai dari berpelukan tadi, hingga sampai ke tempat duduk, Sri menghindari tatapannya. Tangannya sedari tadi menggaruk sebentar-sebentar ke beberapa bagian tangan dan kepala.
“Enggak. Tadinya gue cuma mau ketemu sama lo, eh editor gue malah nyusul tiba-tiba.”
“Editor? Kamu jadi penulis sekarang?”
Sri berhenti sebentar dan mengambil nafas dalam. “Sebentar lagi akan jadi penulis.”
“Woow, congratulations.”
“But…” Sri memotong ucapan selamat Hanna, dan mulai berbicara dengan nada serius. “Ini salah satu hal penting yang mau gue kasih tahu. Buku pertama gue, yang akan diterbitkan satu bulan lagi, adalah buku yang dulu khusus gue tulis untuk adik ipar lo, Andrewi.”
Mata Hanna membelalak dan mulutnya sedikit terbuka. “What? Wait…” Hanna berpikir sebentar mencari-cari wujud buku itu dalam memorinya. “Yang judulnya Si Lesung Pipi, bukan?”
Sri mengangguk-angguk.
“Itu kan sudah 10 tahun yang lalu. Emang buku itu masih ada?”
“Tadinya gue juga udah lupa sama buku itu. Tapi sekitar satu bulan yang lalu, waktu gue dan suami lagi beres-beres pindahan rumah, dia nemuin buku itu di rak buku ruang kerja gue. And then…diam-diam tanpa sepengetahuan gue, katanya cuma iseng, dia kirimlah ke penerbit. Guess what, dua minggu yang lalu, gue ditelpon sama penerbitnya dan mereka tertarik menerbitkan buku itu.”