Tanpa Nama

Paul Sim
Chapter #1

Derap Langkah Tidak Berujung

Hatinya masih sedikit berharap walau terpapar keraguannya setiap hari mendatangi makam, makam yang di sinyalir adalah makam dimana anaknya terbaring tanpa nama dan belum tentu benar itu adalah darah dagaingnya selama ini lelap dalam tidur panjangnya.

Hamparan gundukan tanah kering di tumbuhi rerumputan kecil menari-nari dengan bisikan kecil semilir angin terasa kering. Gundukan tanah itu tidaklah bertuan, tidak menandakan itu adalah makam, karena sudah sejak lama di biarkan begitu saja. Andai itu pemakaman umum, pasti akan ada tanda pada setiap gundukan tanah, yaitu nisan sebagai petanda pemilik yang bertuan sedang terbaring lelap tidur panjang berselimutkan gundukan tanah.

Wania tua itu masih jongkok, dua kakinya semakin terasa lelah untuk menopang berat tubuhnya yang semakin hari tidak peduli dengan kondisi tubuhnya. Asanya selalu berharap mendatangkan kenyakinan dan kebenaran.

Semakin mengeriput lingkaran dua bola matanya, semakin sendu berbinar dua biji matanya selalu berharap yakin dengan gundukan tanah yang selalu di datanginya setiap hari, benar adalah darah dagingnya yang di duganya hilang puluhan tahun lalu.

"Bu, ayo. Hari sudah semakin sore," kata seorang gadis cantik, tersenyum sendu sejenak wajah menuanya kemudian menoleh dan menatap kebelakang. Sudah berdiri gadis cantik di belakangnya, berpaling lagi wanita tua itu masih duduk jongkok tidak lekas beranjak bangun.

Langit tentunya semakin senja, sebentar lagi akan datang gelap malam bersama angin dingin. Tentunya, jauh disana sebagian orang mulai terbaring sejenak, untuk melepas lelah dari siang hari telah menguras banyak tenaga dan pikiran.

Tapi tidak dengan wanita tua itu, ia tidak pernah memejamkan dua matanya barang sesaat saja ketika malam tiba, ia tidak pernah merasa lelah dengan derap langkah dua kakinya seraya berjalan tanpa ujungnya.

***

Malam padahal telah datang membawa semilir angin dingin terasa meninggalkan basah pada kulit wajah tuanya semakin mengeriput. Sejak tadi ia berdiri depan pintu gerbang, pandangannya menatap kosong tampak rumah dari depan. Rumah bergaya vintage masih di terangi cahaya lampu terlihat dari jendelanya, namun sejak tadi pintunya selalu tertutup rapat.

Benar dua kaki wanita tua itu terasa tidak pernah lelah, dua matanya seharusnya sudah terpejam, namun ini masih terjaga terbelalak lebar. Dua matanya seraya memohon menangis dalam kesedihan bertanya dimana sesungguhnya keadilan itu berada dengan segera memberikan jawaban kepastian, agar hatinya bisa sedikit menghela napas bebas. Sejak puluhan tahun juga wanita tua itu selalu berdiri di depan rumah bergaya vintage dan selalu dua derap langkah kakinya tidak pernah lelah mendatangi gundukan makam tanpa nama.

"Bu, ayo pulang." __ "Ibu, belum mau pulang Erika. Ibu, tidak bisa memejamkan dua mata ini, walau hanya untuk tidur sesaat saja. Pastinya saat dua mata ini terpejam, hati Ibu kembali bertanya tentang kebenaran dimana Jakson berada, yang sampai saat ini belum terjawab,"

Gadis berwajah cantik, kulitnya putih, rambutnya panjang sebahu, sepertinya gadis itu baru saja pulang bekerja masih lengkap dengan setelan blazer warna crem, lengkap dengan sepatu hak pendeknya warna hitam. Rasanya gadis cantik itu tidak ingin membuat Ibunya berlama-lama menunggu tanpa jawaban pasti.

"Bu, mungkin Pak Bambang juga bosan bicara dengan Ibu. Ibu selalu bertanya tentang kebenaran dimana sebenarnya, Jakson. Pak Bambang dan istrinya berkali-kali juga memberitahukan keberadaan Jakson, kita percaya dan yakin saja, Bu. Jika itu benar Jakson. Kita pasrah saja, jika Jakson sudah tidak ada. Dan makam itu benar, makamnya Jakson." sedih dua matanya menatap tampak depan rumah bergaya vintage, tidak lagi terlihat cahaya lampu dari jendelanya.

Gadis cantik itu memapah jalan wanita tua, terasa ringkih jalan dua kakinya hanya beralas sandal jepit, solenya semakin tipis. Semilir angin terasa dingin meninggalkan basah pada setiap helai dedaunan semakin lelap dalam tidurnya, tidak ingin berpisah dari ranting pepohonan.

***

Makan saja tidak bernafsu, piring berisi lengkap lauk-pauk hanya di biarkan begitu saja di pelototi dua matanya sendu. "Apa Jakson sudah makan?" kata-kata itu selalu terucap saat sarapan pagi dari bibir wanita tua. Ia kemudian beranjak bangun membiarkan piring berisi lauk-pauk di meja makan berteman dengan segelas air.

Lihat selengkapnya