View city jakarta sungguh tidak terkalahkan pesonanya dengan bagian kota besarnya lainnya. Jakarta salah satu kota besar yang diakui banyak negara besar. Langit saja tidak akan penah merasa bosan-bosannya selalu memayungi dengan keceriaan. Walau terik panas terasa selalu menghantui setiap kehidupan, tapi tidak menyurutkan setiap langkah orang-orang beradu nasib untuk mencari lembaran rupiah hanya untuk menyambung kehidupan.
Roda perekonomian masih terasa carut-marut di rasakan bagi mereka-mereka yang kehidupannya selalu dalam kekurangan. Terkadang untuk makan saja masih terasa sulit, apalagi beradu nasib mencari lembaran-lembaran rupiah untuk menyambung kehidupan.
Walau jakarta di kenal salah satu kota yang mempesona, mungkin saja bisa bila di lihat dari kaca mata kecil saat berdiri diatas tugu monas. Namun jauh disana, kebenaran itu nyata bila masih banyak kehidupan yang terhimpit, kehidupan yang sungguh sulit di jelaskan dengan mata telanjang.
Kehidupan kolong jembatan, kehidupan manusia gerobak, kehidupan gang-gang sempit terasa pengab saling berlomba untuk menghela napas panjang, kehidupan yang tidak pasti, selalu tidak menemukan titik terang jelas segimana harapan mereka untuk bertahan hidup. Mereka-mereka hidup terkelilingi beton besar, bangunan-bangunan yang tidak membuat mereka bisa merangkak dengan bebas, terlebih untuk menghela napas. Itulah jakarta, sampai detik ini setelah kejadian Mei 98, jakarta masih belum menemukan titik terang yang tidak jelas untuk kehidupan yang lebih baik.
***
"Itukan hanya feeling Ibu kamu saja, Erika. Belum tentu itu benar, jika tanah lapang adalah kuburannya Jakson, kakak kamu yang sudah hilang puluhan tahun itu," rada sedikit menahan gusarnya Erika, dua matanya hanya menatap layar laptop, sontak di tutupnya.
Merasa terganggu keyakinan hatinya dengan pernyataan lelaki tampan sahabat dekatnya, tentang lahan kosong yang selama ini datangi Ibunya.
"Dan sampai saat ini, belum ada titik terang tidak jelas tentang kebenaran Jakson yang hilang saat dia ikut masa demontrasi Mei 98. Aku yakin, jika tanah gundukan itu isinya kosong. Tidak ada mayat Jakson, kakakmu." jelas wajah tampannya menatap wajah gadis itu makin menahan rasa gusarnya.
Erika beranjak bangun, jemari kirinya mengambil tali kecil tasnya, kemudian di sangkutkan pada bahu kanannya.
"Erika!" tidak peduli dengan suara panggilan itu, Erika beranjak sudah jalan keluar.
Budi sendiran dalam ruangan, jemari kanannya mengendorkan dasi warna merah agar tidak melilit kencang menyekek lehernya.
***
Erika berjalan menyusuri koridor lorong, raut wajahnya masih menahan rasa kegusarannya. Telunjuknya menekan tombol lift terbuka pintunya. Ia kemudian masuk kedalam lift, ia hanya sendirian dalam lift membawa turun kelantai bawah. Pikirannya bercampur gusar dan jengkel pada rekan kerjanya, harusnya dia ada rasa keprihatinannya. Dan rekan kerjanya itu harus paham tentang keadaan perasaannya, jika selama ini yakin dengan keyakinan Ibunya, bila dalam gundukan tanah bersemayam jasad Jakson, kakaknya.