TANPA TAPI

Rahma Pangestuti
Chapter #7

PENCARIAN

PENCARIAN

Setelah menerima telepon, Gyandra berlari menuju gerbang kampus, sudah ada dua orang yang menantinya disana. Dia harus segera menghampiri. Beberapa hari ini, Gya memang harus menyisihkan tenaganya untuk berlari, karena beberapa hal memaksanya untuk terburu-buru.

Sesampainya di gerbang kampus, Gya melihat dua orang yang sedang berdiri di samping mobil sedan klasik tahun 90’an.

“Pak Lek, Bulek. Sampai sini kok enggak ngabari Gya dulu.”

Gya buru-buru bersalaman dan memeluk kedua walinya. 

 “Memang, Pak Lekmu sama Bulek sengaja ndak ngabari kamu. Pasti kalau dikabari dulu, kamu pasti ngomong, jangan kesini dulu.” jawab Bulek Parti dengan logat jawa yang khas.

Gya tersenyum mendengar ucapan Bulek.

“Ada perlu apa Pak Lek dan Bulek ? Kok sampai jauh-jauh ke Jakarta naik si ireng pula.” tanya Gya yang masih ngos-ngosan.

Si ireng adalah nama sedan klasik warna hitam milik Pak Lek.

“Ini darurat, Nduk.” Jawab Pak Lek, “Pak Lek harus bicara serius sama kamu, ini masalah masa depanmu.”

Raut wajah lelaki 50 tahun itu, kali ini benar-benar serius. Tak ada senyuman disana. Gya, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

“Ya, sudah. Lebih baik sekarang Pak Lek dan Bulek, ikut Gya ke kantin. Makan dulu, pasti kalian lapar to ?” ajak Gya.

“Tahu aja lho. Ayo.”

Pak Lek memutuskan untuk memarkirkan mobilnya di tempat yang telah disediakan. Sedangkan Bulek dan Gya berjalan pelan menuju kantin sembari menunggu Pak Lek.

“Owalah, Nduk. Gede tenan kampusmu yo ? Bulek bangga bisa punya keponakan pintar sampai bisa kuliah disini.” Bulek Parti bercakap seraya merangkul keponakannya.

“Alhamdulillah, Bulek. Ini juga berkat doa kalian semua.”

****

Di kantin, Gya memesan soto betawi untuk Pak Lek dan Buleknya. Saat ini dua orang yang ada di depannya adalah orang tua pengganti Ayah dan Ibunya. Pak Lek dan Bulek memiliki seorang anak yang masih berusia 7 tahun, Lintang namanya.

Namun, ia tinggal bersama Kakek dan Neneknya di Ambarawa karena, Pak Lek dan Bulek harus mencari nafkah di Yogyakarta. Mereka berdua bekerja dengan almarhum Ayah Gya, membantunya mengelola perkebunan. 

Nduk, gimana kamu sudah tahu rumahnya ?” tanya Pak Lek, setelah menyantap habis dua mangkuk soto betawi.

Gya, ingat. Beberapa waktu lalu, Pak Lek memintanya untuk mencari alamat rumah sahabat Ayahnya. Namun, Gya belum sempat mencarinya.

Mendengar pertanyaan Pak Lek, Gya menggelengkan kepala.

“Gya, ini penting lho menyangkut masa depan kamu. Jangan dianggap remeh.” Bulek berusaha menjelaskan.

“Ya, sudah. Mumpung, Pak Lek disini. Ayo kita cari sama-sama.” ucap Pak Lek.

Gya hanya terdiam. Masih banyak tugas yang harus ia laksanakan, bukan meremehkan perintah Pak Lek hanya saja Gya akan mencari alamat rumah tersebut setelah dia menyelesaikan kewajiban kampus juga organisasi.

Gya hanya manusia biasa, dia tidak bisa menyelesaikan semua bersamaan. Harus satu per satu, karena Gya ingin fokus.

“Gya, dicari juga ternyata ada disini.” Baron datang menghampiri Gya bersama Adrian dan Elma. Kedatangan mereka menyelamatkan Gya dari pertanyaan Pak Lek.

“Oh, iya maaf. Soalnya, Pak Lek sama Bulekku datang jadi aku langsung pergi. Oh iya, Pak Lek-Bulek, ini sahabat-sahabat Gya yang rambutnya gondrong itu namanya Adrian, terus yang pakai topi itu Baron dan yang cewek pakai bandana warna pink namanya Elma.” Gya memperkenalkan satu per satu kemudian mereka bersalaman dengan Pak Lek dan Bulek.

“Wah, kalau dilihat-lihat kalian ini anak-anak yang baik ya.” ujar Pak Lek melihat sahabat-sahabat Gya.

“Jelaslah, Pak Lek.” jawab Baron dengan percaya diri.

“Kalau begitu, Pak Lek boleh minta tolong ? Ya, kalau memang kalian itu sahabat yang baik harusnya kalian mau bantu.” Pak Lek kembali menekankan. Kata-kata yang ia keluarkan, terkesan memaksa. Mau tidak mau, Baron dan kawan-kawan harus mau membantu.

Lihat selengkapnya