PELAJARAN HIDUP
Siang ini, Adrian dan sahabat-sahabatnya sudah berada di depan gedung apartemen. Adrian terlihat panik, setelah mendapat telepon dari Ziva. Dia memang sangat panik sampai Baron, Gya dan Elma juga panik.
Di saat genting seperti ini, lift dalam keadaan rusak. Tak ingin membuang waktu dengan terpaksa Adrian melewati tangga darurat dan naik menuju lantai tujuh.
Gya, Elma, dan Baron terengah-engah mengikuti langkah kaki Adrian.
“Ayo, buruan !”
Baron mendorong dua sahabatnya, yang masih mematung mencoba mengatur nafas dan melemaskan kaki sejenak.
Gya dan Elma pun mengumpulkan tenaga untuk menyusul Adrian.
Selepas melewati puluhan bahkan ratusan anak tangga, mereka tiba di kamar apartmen nomor 234.
Adrian segera menunjukkan barcode untuk membuka pintu kemudian masuk.
Dari ambang pintu terdengar teriakan seseorang, membuat Baron, Gya dan Elma bertanya-tanya, tetapi urung untuk masuk ke dalam apartemen. Pasalnya, Adrian tidak menjelaskan tujuan dia datang ke tempat ini. Mereka hanya menunggu di luar.
“Lepasin gue ! Lepasin gue, Ziva ! Gue capek ! Biar gue mati aja !” Suara itu terdengar jelas. Membuat Baron,Gya dan Elma memutuskan untuk menyusul Adrian masuk ke dalam apartemen. Ketiganya terkejut mendapati suasana di dalam ruangan.
****
Adrian masuk ke dalam apartmen, mencari di setiap sudut ruangan. Akhirnya, sosok yang dia cari ada di ruang makan.
Seorang perempuan yang duduk di kursi roda, memegang pisau di tangan kanannya dan mengarahkan pada pergelangan tangan kirinya. Sedangkan, Ziva terlihat menahan Anya dengan memeluknya. Keduanya menangis.
Seketika Adrian merebut pisau itu dari tangan Anya dan menyingkirkannya jauh dari tempat Anya, “Lo, gila apa Nya ?”
“Biarin gue pergi Adrian ! Gue cuma bisa ngerepotin kalian. Gue enggak bisa apa-apa sekarang. Gue enggak tahu harus gimana , Adrian !” ucap Anya terbata-bata. Air mata terus mengalir di pipinya.
“Sadar Nya ! Sadar ! Istighfar.”
“Lo enggak tahu apa yang gue rasain, Adrian !” Tepis Anya.
Adrian menghela nafas panjang, dia tak ingin terbawa emosi melihat sikap Anya. Lelaki itu berlutut di depan Anya, “Nya. Lihat gue, tatap mata gue.”
Anya berusaha menatap mata Adrian dengan tangis yang terisak. Bahkan air matanya membasahi kerudung yang ia pakai.
“Jangan melakukan hal yang sia-sia. Gue emang enggak tahu apa yang lo rasain, gue juga enggak bisa ngerasain apa yang lo rasain. Tapi gue ada di sini untuk berbagi rasa sama lo. Gue, Kak Ziva, semua sayang sama lo.”
“Tapi, gue enggak bisa jalan lagi, Adrian.” Anya semakin menangis histeris.
Sudah delapan bulan lamanya Anya hanya bisa duduk di kursi roda dan selama itu pula Anya harus rutin melakukan fisioterapi dan check-up ke rumah sakit.
Setelah jatuh dari lantai dua, dokter memvonisnya mengalami paraplegia, kelumpuhan pada anggota gerak, dimulai dari panggul ke bawah.
Awalnya, semua berjalan seperti biasa, setelah terjatuh Anya bisa beraktivitas bahkan tak ada keluhan sama sekali. Namun, satu bulan setelahnya kaki Anya sulit untuk di gerakkan. Anya memutuskan untuk ke dokter, disana ia diminta untuk melakukan rontgen untuk mengetahui penyebabnya.
Hasil rontgen menunjukkan dia mengalami paraplegia yang disebabkan karena cedera saraf tulang belakang. Tanpa disadari, jatuhnya Anya dari tangga yang ia anggap sepele ternyata membawanya pada masalah yang serius.
Anya tak bisa berbuat apa-apa, dia berusaha menerima keadaan. Namun, semua terasa berat.
Adrian kembali menatap Anya, “Nya, siapa yang bilang, lo enggak bisa jalan lagi ?”