KELUARGA ILHAM ALKATIRI
Nilam membantu Ibunya menyiapkan makan malam. Dia sibuk memindahkan beberapa makanan dari dapur ke ruang makan. Meskipun, memiliki asisten rumah tangga, tetap saja Karin tidak ingin tugas memasak untuk suami dan kedua anaknya diambil alih oleh asistennya.
“Mah, kok tumben makan malamnya komplit. Ada, nasi bakar pula,” seru Nilam. Ketika melihat meja makan penuh dengan beberapa kudapan spesial.
“Karena, akan ada tamu spesial, sayang.”
“Siapa ?”
Tak berselang lama, terdengar lonceng rumah berbunyi.
“Biar Nilam Mah yang bukain.”
“Oke, sayang.”
Nilam berjalan menuju pintu utama, sambil menebak-nebak siapa yang datang. Dia juga mencoba mencari tahu lewat jendela rumah, tetapi tak sosok yang dia cari. Setelah dia membuka pintu barulah gadis itu bereaksi, dia terperanjat melihat seseorang yang ada di depannya. Sudah lama mereka tak berjumpa. Hanya pesan yang masuk ke dalam ponselnya untuk melepas rindu.
“Abang !” Nilam memeluk Kakaknya begitu erat yang dibalas dengan pelukan hangat.
“Nilam terharu deh.” Gadis itu menyeka air matanya yang perlahan keluar, sebuah tangis kebahagiaan.
“Kok sedih, sih. Nilam itu enggak cocok kalau sedih,” ucap Al, Kakaknya.
“Ya, udah karena Bang Al udah buat Nilam nangis. Jadi, Abang harus tanggung jawab. Gendong Nilam sampai ruang makan.”
“Siap !”
Nilam meloncat dan naik ke punggung Al. Begitulah Nilam, mendadak menjadi anak manja ketika berhadapan dengan Al.
“Assalamualaikum, Mah.”
“Waalaikumsalam, Loh Nilam, kan Abang baru datang kok udah disuruh gendong.”
“Enggak apa-apa Mah lagi pula udah lama enggak gendong bocil ini,” jawab Al.
“Ih, enak aja ngatain Nilam bocil.”
“Emang masih kecil, kan.”
Al menurunkan Adiknya di kursi, kemudian dia mendekati Karin yang masih berada di dapur. Jarak antara dapur dan ruang makan memang dekat. Karin bisa melihat kedatangan Al yang berada di ruang makan.
Al mencium punggung tangan Ibunya lalu memeluknya tak lupa Al juga mendaratkan kecupan di kening wanita yang begitu dia cintai. Bagi Al, tak ada wanita yang berhak dicintai dengan sepenuh hati kecuali sang Ibu.
“Bagaimana kabarmu ?”
“Alhamdulillah, baik Mah. Oh iya, Papah mana ?”
“Papah belum pulang dari Masjid, mungkin sebentar lagi.”
Ilham memang selalu berjamaah di Masjid, dia merasa nikmat yang diberikan Allah untuknya sudah begitu banyak. Rasanya sudah cukup memikirkan tentang dunia yang tak ada habisnya. Di usia senjanya, dia hanya ingin memperbaiki diri dan lebih mendekatkan diri pada Sang Kuasa.
Termasuk memutuskan untuk meninggalkan segala kemewahan yang dia miliki dan memilih untuk hidup sederhana.
****
“Assalamualaikum.” Terdengar salam beriringan dengan suara pintu yang terbuka.
“Waalaikumsalam.”
Setelah meletakkan peci dan sajadah di tempatnya, Ilham menyusul istri dan anaknya yang berada di ruang makan.
“Waduh, ada tamu spesial rupanya.”
“Pah.” Al memeluk Sang Ayah begitu erat. Sudah lama memang, Al tak berkunjung ke rumah orang tuanya. Mungkin satu bulan yang lalu, bagi Al itu sudah lama.
Semenjak lulus sekolah dan melanjutkan pendidikan di bangku kuliah, Al memang memutuskan untuk hidup mandiri. Berlatih bertanggung jawab pada dirinya sendiri, sebelum bertanggung jawab untuk orang lain.
Dari hanya tinggal di tempat kos sederhana sampai kini dia bisa tinggal di salah satu apartemen mewah, semua proses yang tak mudah tetapi Al menikmatinya. Bagi Al, Ilham adalah role model dalam hidupnya.