HATI-HATI
Hari demi hari dilewati Gya bersama Akssa. Dia terbiasa dengan sikap Akssa yang sudah seperti cuaca, sulit untuk ditebak, kadang baik, kadang perhatian, tetapi kadang jutek dan dingin. Dia juga terbiasa bekerja sama dengan Akssa untuk membersihkan rumah. Namun, untuk hari ini Gya melakukannya sendiri. Gya sibuk membersihkan rumah, mulai dari kamar yang dia tempati, ruang tamu, ruang keluarga sampai dapur tak lepas dari perhatiannya. Kecuali, kamar Mahdi Akssa Alkatiri, Gya tak berani masuk apalagi membersihkannya. Akssa melarang Gya untuk menjamah ruangan itu, menurutnya kamar adalah sebuah privasi. Meski keduanya sudah resmi menikah, tetapi rasanya masih ada benteng pemisah.
Gya menghargai keputusan Akssa, dia tahu semua hal tak bisa serta merta termasuk cara Akssa menerima kehadirannya. Tak bisa hanya dalam sekejap waktu. Semua ada prosesnya dan Gya ingin menikmati setiap proses yang ada.
Meski hari sudah mulai sore, Gya tetap semangat. Maklum, jadwal kegiatan yang begitu padat membuatnya tak bisa membersihkan rumah di pagi hari. Sudah ada wacana bahwa Gya dan Akssa akan membayar asisten rumah tangga untuk membersihkan rumah, tetapi hingga kini mereka belum menemukan orang yang tepat.
Sebelum menikah, Gya jarang membersihkan rumah hanya saat dia benar-benar ingin, jangankan rumah, kamar kosnya saja jarang dirapikan. Namun, setelah menikah dengan Akssa semua berubah, Gya menjadi manusia yang rajin hampir setiap hari dia memegang sapu dan kemoceng.
“Assalamualaikum, Pak suami,” sapa Gya pada Akssa yang baru turun dari mobil.
“Waalaikumsalam.”
“Ih ... enggak romantis banget sih. Harusnya salam itu dijawab dengan lengkap. Waalaikumsalam istriku yang cantik,” ucap Gya seraya menggoda Akssa yang tak menghiraukannya dan memilih masuk ke dalam rumah, Gya membuntuti suaminya. “Pak Akssa, tumben baru pulang ?”
Akssa duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya. “Iya, tadi saya rapat. Oh iya Gya, nanti malam saya berangkat ke Surabaya ada DL.”
“DL ? Derita Lo ?” tanya Gya dengan polosnya.
“Dinas Luar.”
“Oh, dinas luar, berarti Gya sendiri dong ? Mendadak banget tugasnya, udah kayak tahu bulat,” gerutu Gya. Gya memang tidak suka sepi, sendiri di dalam rumah.
“Kalau kamu mau, kamu bisa minta tolong Elma untuk menemani kamu atau nanti saya telepon Nilam supaya dia menemani kamu.”
“Jadi pejuang LDR dong kita, Pak ? Long Distance Relationship, menjalin hubungan jarak jauh. Tapi, kalau dipikir-pikir mending jauh di mata dekat di hati dari pada jauh di hati dekat di mata, iya kan ?”
“Kamu itu ngomong apa sih Gya ? Oh iya, selama saya di Surabaya kamu jangan lupa untuk selalu kunci pintu. Enggak usah takut, kalau ada apa-apa kamu bisa telepon saya sewaktu-waktu,” jelas Akssa.
Gya masih berdiri di samping Akssa. “Telepon gimana, punya nomor HP-nya aja enggak.”
Akssa mengernyitkan dahi dan berdiri di hadapan Gya seraya memasukkan kedua tangannya di saku celana, “Kamu belum punya nomor HP suami kamu ?”
Gya mendongak. “Emang, Pak Akssa punya nomor HP istrinya sendiri ?” Gya membalikkan pertanyaan pada Akssa yang hanya bisa menggaruk tengkuknya.
“Ya ... saya juga enggak punya nomor kamu.”
Gya tertawa lepas sampai Akssa membungkam mulutnya. “Perempuan itu kalau tertawa yang anggun, jangan seperti itu.”
“Iya, iya maaf. Ya, lagian Pak Akssa yang mulai. Marahin Gya karena enggak punya nomor suami, eh Pak Akssa juga enggak punya nomor istri.”
Akssa mengambil ponsel dari saku kemejanya. “Ya sudah sekarang kamu catat nomor HP saya.”
“Enggak mau, orang Gya enggak minta nomor HP Pak Akssa.”
Akssa menghela nafas. “Ya sudah sekarang saya minta nomor HP kamu.”