DOA
Gya sudah berada di dalam kamar Akssa, menyandarkan punggungnya pada headboard dan meluruskan kedua kakinya. Dia sibuk membaca karya Elma yang ada di platform digital, membaca dan menulis. Cerita itu sedang trending dan menjadi perbincangan hangat. Cerita yang ditulis berdasarkan kisah nyata Anya, model juga artis yang pernah bersinar pada masanya.
Kisah tentang dua sejoli yang begitu bahagia menikmati waktu kebersamaan mereka tanpa mengenal kata pisah. Sampai pada akhirnya, Anya dihadapkan dengan pilihan yang sulit hingga membuatnya harus melepaskan sosok lelaki yang begitu ia cintai juga begitu mencintainya. Kisah itu berhasil membuat Gya menitihkan air mata.
Gya dapat melihat betapa besar cinta yang diberikan lelaki itu pada Anya, ketulusannya, pengorbanannya, semua dibungkus dengan apik oleh Elma. Hingga dia berandai-andai, jika saja Akssa bisa seperti sosok yang yang diceritakan dalam novel itu. Seorang yang mampu memahami perasaan pasangannya, seorang yang tahu bagaimana cara memperlakukan pasangannya dengan baik. Ah, begitu banyak sisi positif dari lelaki itu. Tetapi, sayangnya Gya harus mengubur dalam-dalam angannya itu, karena Akssa bukanlah sosok lelaki itu.
Di sisi lain Akssa tak bisa diam, dia berjalan mondar mandir. Sesekali melihat Gya yang menyeka air mata. Akssa merasa bersalah dan berpikir pasti Gya menangis karena kecewa padanya.
Jujur, berada di ruangan yang sama dengan Gya membuatnya merasa canggung. Apalagi Gya hanya diam dan menangis sedari tadi.
“Gya ....”
“Ya ?”
“Bisa kita bicara sebentar ?”
“Dari tadi kita juga bicara.”
“Saya serius.” Akssa menatap Gya tanpa berkedip.
“Gya, juga serius.”
Akssa mengambil ponsel Gya dan duduk di samping Gya. “Maafkan saya, Gya.”
Gya berdecak kesal, karena ponselnya di ambil paksa oleh Akssa. “Kenapa Gya harus memaafkan Pak Akssa ?”
“Karena, saya sudah membuat kamu menangis.”
“Gya menangis karena baca cerita yang di tukis Elma bukan karena Pak Akssa,” jawab Gya tanpa memandang Akssa yang terus menatapnya.
“Saya tahu kamu pasti sangat kecewa dengan saya. Namun ... satu hal yang harus kamu tahu, meskipun hati saya belum bisa menerima kehadiran kamu, tapi saya tidak akan menghianati kamu. Saya menjaga komitmen kita, saya menjaga pernikahan ini,” jelas Akssa.
Gya menghela nafas. “Lebih baik, Pak Akssa jangan banyak bicara. Apa yang Pak Akssa ucapkan itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang Gya lihat.”
"Apa yang kamu lihat itu tidak sepenuhnya benar.”
“Lalu apa yang benar ?” tanya Gya sembari menatap Akssa dengan kesal.
Akssa terdiam.
“Pak Akssa enggak bisa jawab, kan ? Udahlah.” Gya beranjak dari tempat tidur meninggalkan suaminya hendak keluar, tetapi saat menggerakkan gagang pintu. Pintu kamar, tak bisa terbuka. Gya berusaha berkali-kali, tetap saja pintu tak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka. “Pak Akssa, kunci pintunya ya ?”
Akssa yang masih duduk di tepi tempat tidur, menggelengkan kepala.
“Jangan bohong.” Gya membalikkan badan dan melihat Akssa curiga.
“Saya memang enggak bawa kunci, kuncinya masih di luar tadi belum saya ambil,” jawab Akssa, santai. Meskipun, jauh di lubuk hatinya dia juga bingung mendapati pintu kamarnya terkunci.
Gya pun mendekapkan kedua tangan di depan dada dan mencari cara untuk keluar. Melihat Gya yang kebingungan, Akssa tersenyum tipis. Wajah panik Gya membuatnya terlihat lucu.
Diam-diam dalam hatinya Akssa mengagumi sosok Gya, yang mampu bersikap dewasa dan bijaksana. Dimana dia mengesampingkan perasaannya yang sedang sedih dan memilih menutupi semua dari kedua orang tuanya. Seolah tak terjadi apa-apa dan semua baik-baik saja.
****
Di dekat kamar Akssa, Nilam tertawa puas seraya menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Gadis itu sengaja mengunci pintu kamar Akssa, setelah melihat kunci kamar Akssa menggantung di lubang pintu.