PERDEBATAN
Matahari belum terbit, baru saja Gya dan Akssa pulang dari Masjid selepas sholat subuh berjamaah.
Gya kembali membaringkan tubuhnya di kasur spring bed, “Kamu mau ngapain ?” tanya Akssa.
“Mau tidur lagi.” jawab Gya yang berusaha memejamkan matanya.
Akssa menggeleng, “No...no...no...” Akssa menarik tangan Gya, “Kamu enggak boleh tidur lagi, lebih baik sekarang kita jalan santai keliling komplek menghirup udara pagi. Sekalian olahraga, sudah lama kita enggak olahraga bareng.”
Memang, kesibukan yang dimiliki Gya dan Akssa membuat keduanya jarang menghabiskan waktu berdua.
Gya merengek, “Tapi, Gya masih ngantuk.”
“Kamu sekarang cuci muka, biar enggak ngantuk. Saya tunggu di depan rumah, sambil pemanasan.”
“Heem.” Gya ingin kembali membaringkan tubuh, tetapi Akssa segera menopang tubuhnya.
“Ya, udah Gya cuci muka.”
Sepuluh menit berselang, Gya keluar dari rumah dengan pakaian olahraga lengkap dengan kerudung yang menghiasi kepalanya.
Akssa dan Gya pun berjalan keliling komplek kemudian jogging.
Tak terasa, sang surya perlahan menampakkan sinarnya. Gelap berubah menjadi terang, lampu-lampu yang tadinya menerangi jalan sudah dimatikan berganti dengan cahaya matahari.
“Udah ya, Mas. Gya capek.” ucap Gya yang terengah-engah.
“Ya udah, kita sarapan yuk. Saya dengar, bubur ayam depan komplek enak.”
“Mau, yuk.”
****
Gya menikmati semangkok bubur ayam yang diberi banyak toping. Suwiran ayam, kacang kedelai dan taburan bawang goreng, supaya lebih lengkap Gya mengambil sate telur puyuh.
Akssa senyum-senyum sendiri ketika melihat Gya menyantap bubur ayan dengan lahap, “Mas Al, kenapa ?”
“Enggak, kamu itu makannya lahap banget. Kayak orang yang enggak makan beberapa hari.”
“Ngeledek banget sih Mas Al.”
Akssa tertawa, kemudian membersihkan ujung bibir Gyandra ketika melihat ada sisa bubur seraya menatapnya, “Sampai belepotan gini.”
“Biar Gya, sendiri.” Gya kemudian membersihkan bibirnya dengan tisu, diperlakukan seperti itu dengan Akssa membuatnya senam jantung.
Bukan bermaksud menolak bantuan Akssa, tetapi dia merasa gugup bila ditatap Akssa. Apalagi tatapan Akssa begitu dalam.
“Oh iya, Mas Al. Makasih ya, sudah mau meluangkan waktu untuk Gya. Meskipun Gya tahu Mas Al sedang sibuk-sibuknya.”
“Seharusnya saya Gya yang berterimakasih sama kamu.”
“Kenapa ?”
“Karena, kamu sudah bersedia berada di samping saya sampai sejauh ini. Saya tahu itu bukan hal yang mudah, kamu tidak pernah berhenti untuk meluluhkan hati saya.”
Gya tersenyum, “Itu sudah menjadi tugas Gya, untuk membuat Mas Al jatuh cinta dengan istrinya dan merasa nyaman.”
“Gya, saya boleh tanya ? Ini serius.”
Gya segera menelan buburnya seraya menerka apa hal serius yang akan ditanyakan suaminya.
“Apa hati kamu tidak terluka jika terus seperti ini ?”