TANPA TAPI

Rahma Pangestuti
Chapter #42

PANTAI ANYER

PANTAI ANYER

Semenjak pertengkaran tempo hari, sikap Akssa berubah menjadi dingin lebih dingin dari Akssa yang dulu. Tak ada sapaan hangat untuk Gya, tak ada senyum ramah, tak ada ucapan selamat pagi, tak ada suara ketukan pintu yang membangunkan Gya untuk sholat subuh berjamaah di Masjid.

Akssa seolah tak menganggap keberadaan Gya di rumah itu. Rumah semakin sepi, karena Nilam sudah kembali ke Bogor.

Apa nurut Akssa kesalahan Gya benar-benar fatal ? Sampai-sampai dia harus menghukum Gya dengan diamnya.

Gya berusaha sabar dengan keadaan ini. Meski, sebenarnya dia masih ingin menelisik jauh mencari tahu perihal masa lalu Akssa dan perihal hubungan Akssa dengan Bianca, tetapi dia enggan memperkeruh keadaan.

Pagi ini, hujan begitu deras datang membuat hawa dingin menusuk tubuh. Angin bertiup kencang. Akssa sedang sibuk di ruang kerja bersama laptopnya. Gya masih duduk di sofa ruang tamu dan menatap jendela, melihat guyuran air hujan. Dia membungkus tubuhnya dengan sweater berwarna putih.

Gya berpikir, jika sama-sama diam masalah tak akan terselesaikan. Sudah beberapa kali Gya mencoba membujuk Akssa. Memasak makanan favorit Akssa sudah Gya lakukan, tetapi Akssa tak mau menyantapnya. Mencoba meminta maaf, tetap saja Akssa hanya diam. Biasanya Nilam yang menengahi perselisihan antara dirinya dengan Akssa, tetapi dia sudah pulang ke Bogor.

Diam tak akan menyelesaikan masalah, Gya tak bisa mengartikan diamnya Akssa. Setelah lama merenung, Gya memutuskan untuk membuat secangkir kopi untuk Akssa dan mengantarnya ke ruang kerja.

****

Gya mondar-mandir di depan ruang kerja Akssa dengan membawa secangkir kopi, dia tak berani mengetuk apalagi masuk. Dia takut Akssa akan marah.

“Ketuk ... enggak ... ketuk ... enggak ... ketuk ... enggak ... ketuk ....” ucap Gya berdiskusi dengan dirinya sendiri.

“Udahlah ya, ketuk aja.”

Baru saja Gya ingin mengetuk, Akssa keluar dari ruangan. “Kamu ngapain ?”

“Ini Gya mau kasih kopi ke Mas Al.” Gya menyerahkan kopi tanpa melihat Akssa.

 Akssa menyandarkan tubuhnya di gagang pintu. “Kenapa enggak masuk ?”

Gya masih menunduk, sesekali memainkan jari kakinya. “Nanti, Mas Al marah.”

“Siapa yang marah ?”

“Mas Al.”

Akssa manatap Gya, tangannya masih dilipat di depan dada. “Bukannya kamu yang marah ? Sampai bakar barang-barang saya.”

Ucapan Akssa membuat istrinya mendongak, kali ini dia membiarkan matanya bertatapan dengan mata elang Akssa. “Itu lagi yang di bahas. Gya minta maaf kalau masalah itu membuat Mas Al marah, Gya janji enggak akan mengulanginya lagi. Lagi pula Mas Al yang minta Gya untuk membantu Mas Al melupakan masa lalu, ya udah Gya bantu.”

“Tapi, bukan dengan membakarnya Gya.”

“Terus dengan apa ? Dengan menyimpannya di atas lemari, terus nanti kalau Mas Al tiba-tiba ingat, Mas Al bisa lihat kenangan bersamanya. Gitu ? Ya, kapan lupanya kalau kayak gitu ?” Gya memutar badannya dan duduk di sofa panjang.

Akssa mengikuti Gya dengan duduk di sampingnya. “Kamu sadar enggak, kamu baru saja meminta maaf sama saya terus kamu ngomel-ngomel lagi. Ikhlas enggak sih, minta maafnya ?”

Gya menyeringai. “Gya mau bilang ikhlas, tapi kalau orang ikhlas itu enggak akan bilang ikhlas. Ya, terserah Mas Al menangkapnya seperti apa yang jelas Gya mohon jangan diam, lebih baik Mas Al ngomong atau omelin Gya. Jadi, Gya tahu kesalahan Gya apa dan Gya akan memperbaikinya.”

Akssa mengambil kopi dari tangan Gya kemudian menyeruputnya pelan. “Kopinya enak, pahit.”

 “Pahit ?” tanya Gya heran, karena dia sudah menuangkan tiga sendok teh gula mana mungkin kopinya pahit.

“Enggak apa-apa manisnya ada di kamu,” ucap Akssa disusul dengan senyum lebar yang terpancar di wajahnya.

“Sempat-sempatnya gombal.”

“Gya, maafkan saya yang mendiamkan kamu, tapi sebenarnya saya melakukan itu karena saya ingin menghindari perdebatan. Kemarin saya masih kecewa, saya enggak mau sampai ada pertengkaran lagi antara saya dan kamu. Lebih baik saya diam,” jelas Akssa.

“Saya juga minta maaf ke kamu, karena saya terlalu keras dengan kamu,” imbuhnya.

Lihat selengkapnya