IMPIAN DAN AKSSA
Gya sedang sibuk di dapur, dia membuka lemari es. Semua bahan ada, sayur, daging, ayam, tetapi dia tidak ada waktu untuk memasak. Pagi ini, dia harus berangkat lebih pagi ke Beryl Fashion karena ada acara ulang tahun Beryl Fashion juga launching busana koleksi terbaru.
“Selamat pagi,” sapa Akssa yang baru saja keluar dari kamar dengan menenteng tas berisi laptop dengan penampilan rapi.
“Pagi, Mas Al.”
“Oh iya Mas, Gya masakin roti bakar ya. Soalnya Gya enggak sempat masak, jam tujuh Gya harus sampai di Beryl Fashion ini udah jam setengah enam.”
“Ya, udah enggak apa-apa. Saya juga harus berangkat pagi, karena ada meeting.” Akssa duduk di ruang makan.
Gya datang membawa sepiring roti bakar dan secangkir kopi untuk suaminya. “Silahkan.”
“Makasih, Sayang.”
Dahi Gya mengenrnyit dan pipinya memerah mendengar panggilan yang diucapkan Akssa padanya, dia tak bisa menutupi rasa bahagianya. Hatinya berbunga-bunga. “Sama-sama.”
“Mas Al mikir apa ? Kayak bingung gitu ?”
“Memangnnya kelihatan ya ? Kalau saya sedang bingung ?”
Gya terkekeh. “Ya, kelihatan Mas. Kalau enggak kelihatan serem dong, kayak mahluk halus.”
“Maksud kamu, saya mah-”
“Tuh kan, Mas Al sensi deh. Maksud Gya gini, jelas wajah Mas Al kelihatan kan Mas Al manusia bukan mahluk halus. Udah, lebih baik sekarang Mas Al cerita ke Gya apa yang membuat Mas Al bingung, siapa tahu Gya bisa bantu.”
Akssa terdiam, dia berpikir untuk menceritakan permasalahannya pada Gya. “Jadi begini, saya dan teman-teman ada rencana untuk membuka cabang gerai teh. Tapi, kami masih bingung mau buka di Jogja atau Semarang. Sebagian lagi ingin di Semarang sebagian lagi ingin di Jogja.”
“Dua-duanya. Semarang iya, Jogja iya. Biar adil,” ucap Gya seraya menyantap roti bakar.
Akssa menghela nafas, “Saya serius.”
Gya menyeringai, “Iya ... iya ... hidup Mas Al serius terus. Sekali-kali bercanda.” Kemudian Gya menyeruput air minum. “Menurut Gya, Mas Al dan teman-teman bisa memanfaatkan media sosial. Mas Al kasih question and answer untuk followers gerai teh Mas Al. Intinya Mas Al kasih pilihan jika gerai teh buka cabang lagi mereka mau gerai teh buka di kota mana ? Semarang atau Jogja ?”
“Pilihan terbanyak dimana, nah itu yang Mas Al pilih. Sekarang tuh media sosial berpengaruh besar lho untuk dunia usaha, followers media sosial gerai teh Mas Al kan udah jutaan tuh. Jadi, bisa dimanfaatkan,” jelas Gya berusaha memberi saran.
“Ide kamu boleh juga.”
“Siapa dulu, Gyandra.”
Akssa menyunggingkan senyum sembari mengusap kepala Gya. Lagi-lagi sikap Akssa membuat Gya tersipu malu. Apalagi ketika Akssa memandang Gya dengan penuh makna. Gya semakin salah tingkah.
Keduanya saling menatap satu sama lain, sampai dering ponsel Akssa menghamburkan tatapan keduanya. “Gya, tolong kamu angkat,” pinta Akssa.
“Mas Al, serius suruh Gya angkat telepon dari HP Mas Al ?” tanya Gya memastikan sekali lagi.
“Seriuslah, saya sedang makan.”
Gya menuruti permintaan Akssa, dia mengambil ponsel Akssa yang berada di atas meja.
“Nilam, video call,” ucap Gya ketika melihat nama yang muncul di layar.
“Ya, udah angkat.”
Gya menggeser panel berwarna hijau. “Assalamualaikum, Nilam.”
“Waalaikumsalam. Kok yang angkat Kak Gya ? Bang Al mana ? Tumben Bang Al bolehin Kak Gya pegang HP-nya ?”
“Kakak juga enggak tahu, kamu ngerasa aneh kan ? Sama Kak Gya juga ngerasa aneh. Enggak biasanya.”
Akssa yang masih mengunyah roti bakar, menghela nafas. “Kamu tuh gimana sih Dek, wajar kalau Abang minta Gya untuk angkat telepon dari HP Abang kan Gya istri Abang.”
“Oh, gitu ya.” Nilam terlihat mengangguk. “Tahu enggak sih, Nilam tuh happy banget lihat kalian yang makin hari makin nempel kayak amplop sama perangko. Gitu dong akur jangan berantem-berantem lagi.”
“Emang mereka pernah berantem ?” tanya Karin, yang tiba-tiba muncul di belakang Nila membuat gadis itu kelabakan.