FROM JOGJA TO JAKARTA
Adrian dan Gya berjalan di tepi pantai, meninggalkan jejak kaki di pasir putih yang menghampar luas di Pantai Indrayanti. Keduanya lebih memilih untuk berpisah dari Nuca, Elma, Baron juga Zahra yang memilih untuk berfoto seraya menikmati suasana yang ada.
Perasaan Gya sedikit mencair setelah mendengar nasihat dari Zahra. Dia juga sudah memaafkan sahabatnya dan percaya jika Adrian dan Elma tidak tahu perihal kenyataan sebenarnya. Hingga, mereka memutuskan pergi bersama menikmati suasana indah di Pantai Indrayanti, setidaknya dapat sejenak melepas semua penat yang mengusik pikirannya.
“Feeling gue tepat. Gue udah duga sih, lo pasti ke Jogja. Lo tuh kenapa sih, enggak mau angkat telepon dari gue ? Telepon Baron sama Elma juga lo cuekin.”
“Maaf ya, Kak. Aku hanya ingin menenangkan diri.”
“Dengan bikin gue khawatir, lo tenang gue puyeng cari lo !”
Gya tersenyum. Melihat ekspresi wajah Adrian yang menahan emosi sedangkan Adrian bernafas lega ketika dia bisa melihat lagi senyum manis di wajah Gya.
“Gya, maafin gue ya.”
“Kenapa Kak Adrian minta maaf ?”
“Lo tahu, gue adalah orang yang paling merasa bersalah atas apa yang terjadi dalam hidup lo sampai lo tersakiti kayak gini. Harusnya gue bisa perjuangin lo, harusnya gue enggak nyerah gitu aja. Ya, emang gue belum semapan Akssa gue belum bisa beliin lo ini itu pakai duit gue sendiri, tapi setidaknya gue enggak akan pernah biarin setetes air mata lo jatuh.”
“Udah ngomongnya ?” tanya Gya dengan wajah polosnya. Dia kemudian duduk di tepi pantai dengan memandang lautan yang luas.
“Kak, semua udah terjadi. Kak Adrian enggak perlu minta maaf dan enggak perlu merasa bersalah. Hidup aku adalah tanggung jawab aku, kebahagiaan aku adalah tanggung jawab aku, Kak Adrian jangan merasa terbebani. Lagi pula, kita harus terima semua dengan lapang dada. Ya, mungkin memang aku dan Kak Adrian tidak berjodoh.”
“Terus langkah apa yang lo ambil setelah apa yang dilakukan Akssa ?”
Gya menggidikkan kedua bahunya, “Gya enggak tahu.”
“Kalau gue boleh kasih saran, lebih baik lo balik ke Jakarta. Enggak baik, meninggalkan suami dalam keadaan hubungan kalian sedang bermasalah. Gya, gue emang sempet benci sama Akssa, karena dia udah ngerebut lo terus kemarin gue tahu kenyataan kalau dia itu mantannya Anya. Gue tahu perasaan lo pasti hancur. Tapi, semua permasalahan harus diselesaikan biar enggak ada salah paham.”
Gya mengangguk pelan, “Oh iya, Kak Adrian makasih ya.” Gya menunjukkan sapu tangan pemberian Adrian yang ada di genggamannya.
“Lo masih simpen ?”
“Sampai kapanpun akan Gya simpan, Kak.”
“Bagus deh, gue seneng.” sejenak suasana menjadi hening, hanya terdengar gemuruh ombak yang datang silih berganti, “Oh iya, lo yakin mundur dari Beryl Fashion ?”
Gya terdiam. Beryl Fashion adalah tempat yang sudah lama didambakan Gya, sebenarnya berat harus melepasnya apalagi untuk berada di posisi sekarang bukanlah hal yang mudah.
“Dulu, lo itu semangat banget ngejar impian lo, ikut festival, kompetisi, selalu ngecek website-nya Beryl Fashion, secapek-capeknya lo enggak pernah gue denger lo ngeluh ataupun sedih, tapi sekarang yang gue lihat di wajah lo cuma mendung. Gue kayak kehilangan Gya.”
Gya menghela nafas perlahan, “Ya, begitulah hidup. Seseorang bisa berubah seiring waktu. Kadang capek juga sih kalau harus bersikap baik-baik aja padahal sebenarnya enggak baik-baik aja. Tenang aja, sebentar lagi ada pelangi kok yang menggantikan mendung di wajahku. Semoga.”
“Aamiin.”
“Tapi, lo enggak berhenti disini kan ? Maksud gue, lo tetep dengan tujuan lo dari awal bahwa lo datang ke Jakarta untuk mewujudkan impian menjadi fashion designer.”
Gya terdiam.
****
Rayuan Zahra, Nuka, Elma, Baron dan Adrian agar Gya kembali ke Jakarta berhasil. Gya akan menyelesaikan permasalahan dengan Akssa dan melanjutkan perjuangannya untuk menjadi seorang fashion designer. Rasanya, tak adil jika karena satu hal Gya melepas mimpinya, itu sama saja dia tidak menghargai perjuangan yang selama ini dia lakukan.
Sampai di Jakarta, bukannya diantar ke rumah. Gya justru ditinggalkan di dalam mobil sendirian dengan keadaan jendela mobil terbuka. Memang sepanjang perjalanan Gya yang duduk di belakang bersama Elma tidur dengan pulas.
Gya yang masih ling lung, karena baru tersadar dari tidurnya berusaha mengamati sekeliling dengan menyipitkan mata agar lebih fokus. Gya tak mengenalinya, dia tak tahu dirinya sedang berada dimana. Merasa panik, tentu iya. Namun, Gya berusaha tenang. Dia kemudian menelepon satu per satu sahabatnya, tetapi tak ada yang merespon.