Teriak. Iya, Ishabella ingin melakukan itu saat ini juga, kenapa cepat sekali waktu berputar menjadi seminggu? Padahal dia sudah melakukan rencana yang cukup matang untuk menghindari pernikahan ini? Tapi kenapa sekarang dia malah sudah berdandan rapi dan duduk di sebuah pelaminan bersama pria yang paling dibencinya saat ini?
“Selamat ya .... ” Ishabella meringis menerima ucapan itu. Apa salahnya Tuhan sehingga mendapat ujian sebesar ini? “Jadi istri yang baik buat suami kamu,” Agung memberikan senyum getirnya. Wanita pujaan yang dia tunggu sekian tahun kini malah jatuh di pelukan pria lain. Cinta memang terkadang semenyakitkan ini.
Ishabella mengangguk lemah. Bukan karena dia sedih melihat Agung yang tampak terpukul karena kehilangannya. Dia hanya sudah kehabisan semangat sejak duduk di samping Mahesa setelah mereka dikatakan sah menjadi suami istri. Ini tidak seperti kisah-kisah novel romance yang dibacanya, ini kisah horor seperti novel triler milik sang abang.
“Lebih dekat!” seru potografer mengarahkan, pria dengan brewok tipis itu kegirangan bukan main melihat pasangan yang berdiri di depannya. Turut bahagia. Sementara si pengantin perempuan sudah memasukannya ke daftar manusia yang akan dia lenyapkan setelah acara ini berakhir. “Peluk Bell!” Kalimat itu seakan membakar tubuh Ishabella, tatapannya menukik dengan tangan mengepal. Bibir tipisnya entah melapalkan kalimat apa, yang pasti itu mengundang perhatian pria di sampingnya.
Mahesa tersenyum tipis, dia memang tidak salah lihat sejak pertemuan pertama. Istrinya cantik. Meski dia tidak berani banyak bertaruh jika Ishabella memiliki kecantikan luar dan dalam. Mereka hanya bertemu sekali dan itupun kilat. Tanpa berkenalan, tanpa berbicara dan sekarang malah sudah jadi pengantin saja. Hidup memang kadang semengejutkan itu ya.
Dua jam terlewat, kini acara resepsi telah selsai. Mereka mendapatkan berbagai hadiah dari tamu undangan dan salah satunya vocher menginap di hotel bintang lima. Namun mengharapkan mereka menerima itu bukanlah hal yang tepat, secara tegas Ishabella menolak. Dia tidak bodoh membiarkan dirinya tidur seranjang dengan pria asing yang bahkan tak menggugah seleranya.
“Kita langsung tinggal di rumah Mahesa saja, Bu. Kan deket juga dari sini.” Itu alibi yang sudah dia persiapkan bahkan sebelum acara pernikahan. Tak mampu dibantah oleh siapapun.
Kini mereka telah berdiri di depan pintu kamar masing-masing, dengan baju yang tentu sudah berganti santai. Mahesa dengan kaos polo shirt dan jeansnya, Ishabella dengan gaun selutut dan rambut pirang lurus tergerai.
“Kamu Enggak pakai jilbab?” pertanyaan itu datang dari Mahesa ketika mereka meninggalkan hotel beberapa menit lalu. Mereka sedang menikmati perjalanan di dalam mobil menuju rumah Mahesa.
Ishabella menggelang. Dia malas dengan pertanyaan itu, tepatnya malas dengan manusia yang bertanya.
“Aku pikir kamu pakai jilbab karena__”
“Kenapa? Kamu nyesel nikahin akau karena aku nggak berjilbab? Aku nggak seperti yang dibayangan kamu?” Ishabella mencecar dengan wajah kecut. “Baguslah kalau kamu nyesel, berarti kita bisa cepet cerai, iya kan?”
Dan kini, mereka telah berbaring di tempat tidur masing-masing. Rumah minimalis kontemporer itu memiliki tiga kamar di dalamnya. Satu di lantai dua dan dua di lantai bawah. Mahesa menempati kamarnya semula, sementara Ishabella menempati kamar tamu. Mereka sepakat untuk tidak tidur bersama, lebih tepatnya ini kesepakatan Ishabella. Wanita itu menolak tidur bersama sang suami, alasannya belum siap. Entah siap secara mental atau apa? Majesa tidak ingin ambil pusing. Pria itu terlalu lelah bahkan hanya untuk bertanya. Terlebih mengingat ucapan Ishabella di mobil tadi.
Mahesa memejamkan mata, bayang wajah Ishabella memenuhi benaknya, bagaimana mungkin wanita itu memikirkan tentang perceraian ketika usia pernikahan mereka belum genap satu hari. Baru beberapa jam mereka sah menjadi suami istri. Ia yakin, penghulu dan tamu undangan pasti masih ingat siapa nama dan bahkan mahar pernikahan mereka. Benar dugaanya, Ishabella tidak memiliki kencantikan hati seperti kecantikan parasnya. Jelas sekali, wanita itu memiliki pandangan hidup yang jauh berbeda dengan dirinya.