Sayur lodeh, menu makan siang yang Ishabella siapkan setelah melihat isi kulkas Mahesa. Di sampingnya tempe goreng dan ikan asin bertengger dengan manis, hasil mengejar tukang sayur komplek. Seingatnya ini sudah masuk jam makan siang, tapi sang suami yang merupakan bos perusahaan besar itu belum menampakkan diri. Dia ingat apa yang diucapkan pria itu ditelpon, jarang makan siang di rumah. Apakah kali ini tidak akan pulang juga?
Ishabella mengambil ponsel, mencari nomor Mahesa dan mendial satu panggilan. Namun suara perempuan menyambutnya dengan ramah. “Saya bisa bicara dengan pak Mahesa?” tanyanya dengan kaku. Di benaknya sudah berseliweran pikiran negatif tentang sang suami. Jam makan siang dan ponselnya dipegang sama sekretaris?
Mengangguk, Ishabella tersenyum kecut. “Terimakasih. Tidak perlu.” Kalimat terakhirnya sebelum mematikan ponsel dan melempar benda itu ke atas sofa. Bukan, bukan karena cemburu atau apa? Memang ada perasaan apa sampai dia harus cemburu? Hanya saja, melihat usahanya untuk memasak makan siang, ia merasa tidak dihargai karena dibiarkan makan sendiri.
“Padahal dia yang bilang aku harus belajar tentang rumah ini, masak ini lah, itulah! Malah dia yang makan siang di luar!” Ishabella menghentak dan meninggalkan dapur, tujuannya saat ini adalah halaman belakang. Tadi pagi dia sempat menyambangi tempat teduh itu, kemudian menemukan berbagai tanaman hias yang membuatnya terpekik senang. Selera makannya sudah menghilang saat ini.
Menidurkan tubuh pada gazebo, Ishabella memindai beberapa barang yang tersusun rapi di sebuah rak kecil bersama sebuah mushaf berwarna hitam. Dulu dia sering membaca benda itu ketika masih tsanawiyah, tapi kini hampir tidak pernah.
Matanya beralih ke peci berwarna hitam yang diyakini milik Mahesa. Iya, pria yang baru dua hari menjabat jadi suaminya itu merupakan tipikel pria religius. Meski tidak bertampang ustadz, tapi dia tahu jika Mahesa termasuk pria yang taat dalam beragama. Buktinya, dia menyukai wanita berjilbab dan selalu mengucapkan salam ketika memulai pembicaraan. Meski dia tahu itu bukan ukuran untuk menentukan kualitas iman seseorang, yang pasti Mahesa lebih baik dari dirinya, itu saja.
****
Sebenarnya ingin pulang, tapi dengan tiba-tiba klayen memintanya untuk menghadiri meeting yang dirangkai dengan makan siang, ditemani oleh Helen yang bertugas mengatur segala jadwalnya. Sejak beberapa menit yang lalu juga, gadis itu memegang kendali atas ponselnya agar tak terganggu ketika sedang persentase.
“Ada telpon masuk?” Mahesa meraih ponsel yang diberikan Helen ketika mereka akan kembali ke kantor. Mendapat anggukan kecil dari sang sekretaris yang sedang memeriksa beberapa jadwal sang bos di tab.
Mengklik log panggilan, nama Ishabella berada pada urutan pertama. Mahesa mengernyit, berpikir sejenak tentang alasan sang nyonya baru menelponnya. “Istri saya ngomong apa?” tanyanya ketika mereka telah duduk di mobil. Baik Mahesa ataupun Helen, keduanya tidak pernah terlibat obrolan serius selain masalah pekerjaan. Mahesa adalah laki-laki yang irit bicara dan sangat kaku terhadap orang lain, terutama perempuan kecuali sang ibu.
“Istri, Bapak nanya sama saya, Bapak sedang di mana? Lalu saya jelaskan jika, Pak Mahesa sedang makan siang bersama klayen.”
Mahesa mengangguk kecil. Penjelasan Helen sudah membuatnya puas. Setidaknya dia tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi kepada Ishabella ketika di rumah.
Menjalankan mobil, pria berwajah klimis itu fokus menghadap jalan, di pikirannya hanya tentang bagaimana kelanjutan tender, apakah akan menang atau bagaimana?
Sudah terlalu banyak tenaga dan waktu yang telah dia habiskan untuk membuat proposal penawaran mengenai pembangunan pusat perbelanjaan itu. Berharap besar semoga Tuhan memberinya rezeki dari sana.