Langit gelap terbentang luas menyelimuti penduduk bumi. Cakrawala biru seolah meninggi, tak lagi tergapai. Raib. Memang begitu adanya atau lenyap diserap pekat, entahlah. Mendung disana-sini. Begitu juga di jiwa-jiwa yang saat ini berjalan gontai. Langkah-langkah yang tapaki jalanan penuh kerikil itu terjejak asal. Kepala mereka sedikit menunduk. Berbagai desahan dan umpatan-umpatan kasar terlontar dari bibir mereka. Sekali dua kali. Mereka seolah kehilangan arah, tujuan hidup. Takdir seakan mengikat mereka dalam satu perjanjian yang tak diinginkan, bahwa suram adalah pelangi kehidupan.
"Hamd, ayo!” Teriakan itu berhasil menyentak lamunan Hamd. Si Pria Bertudung.
Untuk kesekian kalinya, Hamd teringat kata-kata gurunya. Uru. Pria tua yang meyimpan segudang cerita. Setiap penuturan Uru adalah ingatan yang melekat kuat di pikiran. Ingatannya adalah wadah yang selalu berhasil menampung goresan-goresan manuskrip tua miliknya. Kau tahu? Wajah-wajah suram merekalah yang sampai saat ini mengingatkan Hamd akan Uru. Si guru Tunggal.
“Aku malas bercerita, Hamd. Kau pulang sajalah!"
Seolah tidak mendengarkan, Hamd tetap bergeming di tempatnya berdiri. Tidak hendak beranjak dari rumah Uru. Pulang? Hamd tersenyum samar. Baginya pulang adalah dermaga. Tempat menambatkan hati pada sesuatu yang layak dilemparkan sauh untuk berlabuh. Dan segala orang yang dikasihinya adalah dermaga. Tempat pulang.
Uru melirik bocah kecil yang ternyata masih menatapnya sambil tersenyum usil.