Splash!
Riyy tersentak kaget. Langkah lebar yang sebelumnya tapaki bumi kini terhenti. Dia menoleh kebelakang. Pandangannya menyapu seluk beluk hutan. Sesekali, ia melirik keatas, menatap pohon-pohon yang menjulang tinggi. Tatapan lelaki bermata coklat itu kembali terkunci. Wajah Riyy merah padam. Bahu tegapnya bergoncang hebat. Memoar terkutuk itu lagi-lagi menikamnya tanpa ampun.
“Kau lihat saja dulu. Setelah itu, aku akan cerita.”
Riyy kecil memanyunkan bibir sebal, memilih mengalah. Mundur selangkah demi cerita baru dari ayah. Riyy memicingkan mata, menatap pepohonan dengan kedua tangan bersedekap. Emangnya ada apa disana?
Satu.
Ayah mulai menghitung. Riyy mengalihkan pandangan dari pepohonan yang masih bergerak pasif itu. Ia melirik ke arah ayah. Keningnya berkerut halus menandakan kebingungan. Buat apa menghitung?
Dua.
Ayah sama sekali tidak menoleh. Mengabaikan raut bingung Riyy. Wajah jenaka ayah yang menengadah disapa selarik cahaya pagi. Ayah fokus menatap pepohonan yang seakan mengejar cakrawala itu.
Ti−
Splash!
“Astaga!”
***
Alee bodoh! Alee bodoh! Ceroboh!!
Apa yang baru saja dia lakukan? Ya, wanita itu memang mengakui kepayahannya dalam segala hal. Termasuk dalam penguasaan teknik Mur yang turun-temurun diwariskan oleh pendahulunya. Segala cara telah ia usahakan agar mendapat predikat Ratia Mur. Gelar yang hanya boleh disandangkan kepada Murie−dia, keluarga, keturunan dan seluruh penghulunya.
Jangan anggap sempit kata ‘hanya’ disini! Bahkan, pemahaman kata itulah yang selalu mendorongnya agar tetap berlatih. Memang hanya pada orang-orang beraliran darah Murie-lah disematkan julukan ini. suatu kebanggaan, bukan? Masalahnya, Alee berada di luar garis edar keberuntungan. ‘Hanya’ dia satu-satunya Murie yang belum lulus penyeleksian kemampuan teknik Mur. Jangan tanya tentang seberapa keras dia berlatih menggunakan teknik ini. Bukan kepalang. Tapi, hasilnya? Dia menggerutu sebal. Apa yang salah dariku?