Tapak Kecil Gayatri

Rinmunchhhii
Chapter #1

Gadis Bar-bar

Segera aku melewati gerbang dengan langkah panjang. Sesegera mungkin sebelum—

“Pagi, Yatri anak Papi!”

“Cie, tadi cium Papinya sebelum masuk sekolah!”

I can’t live without Papi!”

—Bertemu orang-orang menyebalkan ini.

Aku menahan napas. Menggeram marah atas hal yang terjadi sejak pagi tadi. Ada saja cobaan hidup yang mengantri. Penuh penghakiman tanpa ada batasan. Dimana letak kesalahanku? Kenapa semua orang suka mengkoreksi dan mengomentari?

*****

Buku tulis, buku pelajaran, alat tulis, gadget, earphone, charger, powerbank, dan yang terpenting adalah tas. Mengapa membawa charger dan powerbank bersamaan? Alasan pertama, karena akan ada penghuni kelas yang akan meminjam salah satu dari barang tersebut. Alasan kedua, gawaiku sudah sedikit bermasalah. Entah mengapa baterainya cepat habis, kata teman-teman serta keluarga karena memang smartphone ini sudah lama.

Aku pribadi tidak tumbuh niatan untuk mengganti dengan yang baru karena merasa belum perlu. Meski banyak teman-teman kelas yang menyuruh untuk mengganti smartphone terbaru. Banyak dari mereka yang sudah tidak menggunakan seri sepertiku. Rasanya sayang untuk mengganti barang bersejarah ini.

Segera tanganku meraih kenop pintu dan menuju ruang makan.

“Lho, kok rame?” ujarku melihat setiap kursi di ruang makan sudah terpenuhi oleh pemiliknya masing-masing.

“Kalau sepi, kuburan dong?” sahut kakak sulung ku, Lestari.

“Ih, sewot amat, Mbak,” ucapku mencebikkan bibir.

“Shhh, udah jangan berteman, eh bertikai,” timpal Dita sang kakak tengah dengan jenaka.

 “Waah, ada keributan apa? Tunggu bentar aku mau nyiapin cemilan dulu!” ucap Dewi yang entah muncul dari mana secara tiba-tiba.

“Eh, kaget! Mbak Dewi ngapain sih, tiba-tiba muncul gak ada hawanya?” ujarku kesal yang hampir menjatuhkan semangkuk sereal.

“Hehe, maaf-maaf,” mbak Dewi menarik otot senyumnya hingga timbul garis-garis yang unik. Tak lupa mengusak rambutku.

“Iiih, Mbaaak! ini rambut udah aku rapikan susah-susah!” tentunya kalimat itu tidak kuucapkan dengan lembut. Lengkap dengan pukulan pada lengan mbak Dewi.

“Ah, aduh! Sakit, Gayatriii!” pekik mbak Dewi dengan gerakan bersiap untuk membalas. Untung saja si Sulung menengahi.

“Cukup kalian berdua! Gak baik berantem di meja makan!”

“Gayatri yang mulai mukul, Mbak,” rengek mbak Dewi.

Koe iku luwih gedhe to karo Gayatri?1 ujar kakak sulung dengan suara tegasnya.

“Iya Mbak, tapi yang mulai dulu Gayatri,” jawab Mbak Dewi.

 “Gayatri, kamu yang sabar gak bisa, tah?” kali ini kalimat mbak Lestari ditujukan untukku.

Aku terdiam tak menjawab.

Antara malas dan kesal.

“Gayatri, jawab,” si Sulung melembutkan suara namun terkesan dalam.

“Haaah, nggih2 Mbak Dewi, aku minta maaf,” ujarku seadanya sembari menduduk dalam dan melanjutkan acara sarapan yang tertunda. Sementara ketiga kakakku memilih untuk diam daripada memperkeruh suasana, karena kedua orangtua kami sudah menunjukkan batang hidungnya.

*****

Maharani Gayatri, bungsu dari empat bersaudara. Itu aku. Masih menginjak kelas dua menengah atas di SMAN 117 kota Pahlawan. Tidak ada yang khusus dari diriku, hanya gadis remaja yang sedang dalam masa labil dan pembangkangan.

Kata orang-orang, memang masa peralihan menuju kedewasaan tidak jauh-jauh dengan namanya gejolak emosi. Seperti peristiwa meja makan diatas, sangat menunjukkan sekali betapa emosionalnya diriku. Aku pun tak tahu mengapa gampang sekali tersulut. Dilansir dari media pencarian, ini merupakan hal yang normal.

Namun tetap saja menimbulkan keresahan di tengah keluarga. Pasalnya, yang lain, tidak se-agresif diriku. Bahkan cenderung tidak ada masalah apapun.

Memang dasarnya mereka perempuan tulen, sementara aku sepertinya perlu dipertanyakan. Hanya fisik saja yang menunjukkan bahwa diri ini memanglah seorang perempuan. Isinya seperti kuli bangunan. Bahasa bekennya adalah bar-bar.

Jika kalian bertanya tentang bahasa Jawa yang tiba-tiba muncul di peristiwa ruang makan, memang karena kami terbiasa menggunakannya. Entah secara spontan keluar begitu saja.

Lihat selengkapnya