Langkahku begitu berat. Mengingat orang-orang pengusik hidup berada di kedua sisiku. Berkicau tanpa jeda, barucap tanpa makna. Tidak bosan-bosannya mereka mengganggu hidup orang lain. Meski sudah aku diamkan, tetap saja mengoceh tak berarah. Meski sudah aku sumpal kedua lubang telinga, tetap saja tidak ada pantangan. Padahal minggu lalu sudah kuberi pelajaran, tidak juga jera. Apa aku harus mengamuk—hingga menghancurkan fasilitas sekolah— baru mereka akan berhenti? Tidak perlu bukan? Karena aku pun akan mendapat imbasnya.
“Yatri!”
“Tri!”
“Teri!”
“Pari!”
“Dih, sombong amat gak mau noleh!”
“Namaku Gayatriii!!!” pekikku kesal dengan suara yang menggelegar. Seketika mereka membisu.
“Astaga galak amat…”
“Maung tuh maung, bukan manusia!”
“Arghhh!” teriakku frustrasi dan mempercepat langkah menuju kelas. Entah mengapa kehadiran mereka, membuat perjalanan menuju kelas terasa jauh.
Brakkk!
Suara pintu kelas yang kubuka tanpa belas kasih.
“Astaga!”
“Astaghfirullah!”
Segala macam latah terucap oleh penghuni kelas. Sedikit terhibur dengan reaksi teman-teman yang kaget karena kedatanganku yang tidak membawa ketenangan. Sekejap aku melupakan kekeasalan pada geng tadi. Namun, tidak lama ketenanganku direnggut kembali oleh mereka, yang sialnya sekelas denganku.
“Pagi, semuaaa!”
“Assalamu’alaikum! Salam dijawab woy!”
“Sugeng injing, Kanca-kancaku!1”
*****
Aku mengigit pipi bagian dalam. Mengeratkan kepalan, hingga buku-buku jari memutih. Menahan amarah sebisa mungkin, agar tak perlu menemui guru BK lagi. Minggu lalu, panggilan yang ditujukan untukku, cukup membuat malu. Dengan segala ego yang kupunya, enggan rasanya meminta maaf kepada “geng” itu. Di tengah lapangan yang disaksikan oleh siswa dari berbagai jenjang. Jangan lupakan, mikrofon yang sengaja disiapkan oleh staff sekolah. Agar seluruh penghuni sekolah mendengar, katanya.
Mau tak mau, aku melakukannya. Karena mereka — para guru— mengancam untuk memanggil orang tua. Hal itu juga berlaku pada “geng” itu. Mereka juga akhirnya meminta maaf padaku. Namun tetap saja tidak membuat mereka jera.
Kupercepat langkah menuju bangku tercinta, memajang senyum seadanya. Satu-satunya anggota kelas yang bisa menangani sifat berontakku, hanyalah teman sebangku. Bukan karena memiliki sifat atau kesamaan dalam suatu hal, kami malah berbanding terbalik. Pribadinya lembut, menyenangkan, dan lucu. Elvina Fidelya namanya, yang kerap dipanggil Vivin. Mungkin ia juga satu-satunya teman dekat yang betah dengan sikap kasarku. Hampir semua teman perempuan di kelas, enggan berteman denganku. Hanya Vivin lah, yang mampu berteman, tanpa mengeluarkan segala cibiran.
“Eh, pagi Gayatri!” ucapnya riang gembira tak bercela.
“Pagi juga, Vivin!”
“Rame koyok biasane yo?2” Vivin menelisik raut wajahku yang kusut.
“Iyo, mboh arek-arek iku, senengane nggarai wae!3” keluhku semakin kusut.
“Hahaha, sabar Gayatri. Jangan diambil hati ulah mereka yang kayak… entahlah? Mungkin, kayak burung kakak tua!” gurau Vivin mencoba menarik otot-otot senyumku.
“Iya, bener banget! Tapi menurutku mereka lebih kayak burung beo!” aku menimpali dengan semangat.
“Ngomong-ngomong, kamu dengerin apa sih?” tanya Vivin penasaran.
“Eh, anu, Sundari Soekotjo,” ucapku setengah berbisik dengan pelengkap senyum kaku.
“Eh, hahaha,” wajahku sudah menyerupai kanebo kering, melihat reaksi Vivin.
“W-wah, gak nyangka Gayatri! Selera kamu jadul ya, hahaha!” tawa renyah Vivin pecah.
“Eh, ada apa nih? Kok rame banget!” ucap salah satu anggota “geng” itu .
Dasar Vivin, memang tidak bisa di mengecilkan volumenya! Alhasil gerombolan pengusik itu menghampiri meja kami. Tentunya membawa kawanannya yang tidak kalah berisik dengan hiruk pikuk supporter tribun. Akankah ini menambah beban hidupku?
Tuhan Gusti Yang Agung. Kalau bisa, aku tidak ingin bertemu dengan geng itu, bahkan hanya sehari pun tidak apa.
*****