Dan disinilah aku.
Lapangan SMAN 117.
Bersiap untuk mendapat wejangan dari pak guru tercinta. Air mukanya menunjukkan, ketidaksukaan terhadap wajah-wajah yang sudah dikenal satu sekolah dan di cap sebagai “pembuat onar”. Kecuali Vivin tentunya. Kehadiran Vivin diantara deretan pembangkang, berhasil menuai kebingungan pada lingkungan guru-guru.
“Bapak memanggil lima orang, kenapa nambah satu?” ucap pak Ryan sang guru Sosiologi.
“Saya yang menyebabkan perselisihan— diantara Gayatri dan geng nya Chandra— Pak,” Vivin menjelaskan dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Meski ia tidak sepenuhnya terlibat, namun tetap saja ada rasa takut berhadapan dengan guru killer.
“Terserah saja lah, siapapun yang terlibat masalah ini Bapak hukum atas alasan melanggar nilai kesopanan!” Pak Ryan mengambil napas untuk kembali berceloteh.
“Selain itu, Gayatri, kenapa rambutmu berantakan? Bukannya sudah ada peraturan untuk mengikat rambut atau dikepang rapi bagi yang tidak berhijab? Lalu itu lengan kenapa digulung? Mau nantangin saya hah!?” karena terlalu bersemangat menceramahi, semburan hujan lokal keluar dari mulut pak Ryan. Buru-buru aku menghindari. Suara tawa tertahan menyapa indera pendengaranku. Aku tahu benar siapa pelakunya.
“Terus, mana topimu? Tahu mau upacara kan!?” hardik pak Ryan.
“Anu… itu topi saya yang Bapak,” pakai untuk mengusap air liur yang menyembur kemana-mana. Tentu tak kusuarakan, karena akan menimbulkan konflik lain. Maka dari itu, hanya ku gantung kalimatku dan memberi gestur menunjuk letak si topi.
“Oooh, jadi ini punyamu? Bapak sita dan kamu masuk ke barisan siswa tak beratribut lengkap!” ucap pak Ryan memutuskan. Aku tentu lebih memilih berada di barisan itu, meski akan ada banyak pasang mata melihatku dengan tatapan menghakimi.
Selanjutnya pak Ryan beralih menceramahi Chandra dan kawananya. Aku tersenyum puas tentunya. Satu geng memasang muka seperti menahan akan buang air besar.
“Chandra kemana dasi kamu? Kenapa pakai sneakers? Rambut berantakan kayak gitu mau jadi apa di masa depan hah!?” ucapan pak Ryan menuai kebingungan untukku. Dimana korelasi antara rambut dengan masa depan?
“Juna, ngapain pake banyak gelang? Kan peraturan sekolah gak boleh pakai perhiasan atau aksesoris selain yang diperbolehkan! Mau jadi anak punk kamu!?” sekali lagi aku tidak paham atas penuturan bapak Ryan yang terhormat ini.
“Herman! Mana sabukmu? Terus kenapa itu celana seragam kamu jahit seperti celana pensil? Mau jadi anggota barunya Cangcuters!?” ucapan pak Ryan hampir saja membuatku terbahak-bahak jika tidak ingat sedang berhadapan dengan siapa.
“Jingga! Mentang-mentang kamu ini anak orang berpengaruh di sekolah ini jangan seenak jidat kalau berperilaku ya! Saya gak segan ngasih kamu sanksi kalau kamu berulah! Apa-apaan dengan bajumu yang tidak rapi itu!?” memang hobi para guru adalah mencari kesalahan muridnya. Jelas terlihat satu-satunya anggota yang berpenampilan rapi di geng Chandra adalah Jingga. Aku pikir pak Ryan hanya mencari-cari alasan saja untuk memarahi.
Hening sejenak.
Bersamaan dengan itu, para siswa-siswi dan staff dewan guru mulai berkumpul di lapangan untuk mengikuti upacara. Semua pandangan tertuju pada kami, seakan sudah tidak heran dengan wajah-wajah yang terpampang pagi ini. Tentunya Vivin tidak termasuk, malah banyak yang merasa terkejut dengan keberadaannya di sampingku.
“Haaah, dan kamu Elvina, kamu dihukum bareng mereka karena gak ngasih alasan yang jelas buat dihukum!” hanya dengan Elvina nada bicara pak Ryan terdengar lebih ramah. Meski demikian apa yang diucapkannya pada Vivin membuatku tersedak ludah sendiri. Mana ada hukuman macam itu? Memang tipikal guru yang suka cari kesalahan murid.
“Sekarang cepat kalian baris di barisan tidak lengkap atribut! Hukuman lainnya nanti menyusul setelah selesai upacara!” pak Ryan melenggang pergi meninggalkan raut bingung di wajah Vivin dan Jingga yang notabenenya atributnya lengkap rapi paripurna.
“Tapi Vivin kan lengkap atributnya. Masa’ baris di barisan itu sih?” aku bergumam dan tidak beruntungnya pak Ryan menangkap frekuensi suaraku ini.
“Gayatri! Kalau kamu keberatan dengan keputusan Bapak, kamu baris di barisan guru ya!” ucap pak Ryan tanpa perlu berbalik. Aku panik tentu saja dengan ancaman darinya.
“Eh, eng-enggak Pak, maaf saya berlaku lancang!” tuturku sedikit terbata. Terdengar Chandra dan gengnya terkikik kecil. Aku memicingkan mata setelah pak Ryan benar-benar pergi.
“Hah, mampus deh baris di barisan guru!” Herman kembali dengan mulut kompornya.
“Hih ngapain sih ngurusin hidup orang!?” dengan menggebu-gebu segera aku meninggalkan mereka dan menarik Vivin untuk berbaris di tempat yang sudah ditentukan.
Dengan langkah cepat aku dan Vivin menempati barisan khusus tersebut. Karena waktu sudah menunjukkan jadwal upacara, Chandra dan gengnya segera mengekor.
*****
Sudah hampir sepuluh menit upacara berlangsung. Apa yang disampaikan tidak jauh-jauh dari kenakalan remaja, pembangkangan, dan sebagainya. Sayangnya Pembina upacara pagi ini adalah pak Ryan. Entah sudah keberapa kalinya, ia menjadikanku dan geng Chandra sebagai salah satu contoh pembangkangan dan kenakalan remaja. Hampir sepanjang upacara, pak Ryan menggiring para peserta upacara agar tidak menjadi pribadi seperti kami. Terutama para adik kelas yang masih lucu, imut, menggemaskan.