Tapak Leman

Rori Maidi Rusji
Chapter #1

Ngaludai

Libur baru dimulai, bagiku libur bukan suatu yang menyenangkan. Karena liburku bukan berarti liburan, melainkan pekerjaan. Sekolah adalah liburan yang sebenarnya, karena disana aku terbebas dari pekerjaan. Walau banyak tugas mata pelajaran, setidaknya itu tidak menguras tenanga. Bisa aku abaikan kalau sedang tidak ingin banyak pikiran, amarah guru tidak akan lama. Karena tugas guru mengajari, bukan memarahi. Siang sebelum tengah hari, aku sudah siap dengan seragam kerja. Baju kaos partai yang sudah lusuh, tas kain tentenganku sudah tidak jelas lagi motifnya. Radio merek national peninggalan kakek, beserta bilah kayu tergenggam erat. Ini hari pertama untuk pekeerjaan yang baru.

Ternyata dugaanku salah, mereka tidak sombong seperti yang hadir dalam bayangan. Aku kira akan menghabiskan hari libur dengan lelaki tua di padang gembala, ternyata tidak. Ada seorang pemuda berumur sekitar tiga puluh tahunan, itu hanya perkiraanku. Namanya Sapar, dia juga tamatan tempat aku bersekolah sekarang. Di kampung, banyak pemuda yang hanya bersekolah sampai bangku SMA saja. Karena bagi orang tua mereka biaya untuk melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi itu hal yang mustahil mereka dapat, padahal kalau hasil tani sedang bagus mereka bisa membeli beberapa kenderaan untuk hadiah anak – anak nya. Sangat jarang sekali orang tua di sini berpikir untuk menabung untuk kelak anak bisa mengenyam perguruan tinggi, kalau pun ada itu mungkin jumlah yang sangat sedikit sekali.

“Kau menggantikan ayahmu hari ini”

“Mungkin untuk hari ini, mungkin juga sampai libur sekolah berakhir”

“Baguslah,”

“Kenapa bagus “

“Apanya “

Sapar menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan, sungguh pembicaraan yang tidak menarik untuk diteruskan. Mataku liar melihat kerbau-kerbau yang mendekati pagar sawah, sambil menikmati alunan lagu dari radio. Bukan lagu favorit, sekedar teman telinga di tengah padang gembala saja. Semoga saja aku tidak bercita-cita menjadi penyiar radio, setelah libur usai.

“Itu, kerbaumu Leman. Dia merompak pagar sawah”

Sorakan Sapar membuatku bersicepat meletakkan radio ke tanah, berlari menuju pagar sawah. Setelah kerbau benar-benar menjauh dari pagar, aku memperbaiki beberapa kayu yang rusak oleh tanduk kerbau. Setelah pagar dikebat dengan sisa kawat yang masih tergantung, aku kembali berlari menuju tempat anak gembala duduk santai. Dengan napas terengah-engah aku mengambil radio dan mengganti siaran.

“Terimakasih, kau anak muda yang baik”

Sambil tertawa kecil pak Namin melanjutkan mengisap rokok. Mataku melirik Sapar, dia tertawa sejadi-jadinya melihatku mengatur hembusan napas. Agaknya dia tahu, sekarang napasku sesak bukan hanya karena berlari di padang. Sudah bercampur dengan amarah yang tertahan. Ini pengalaman pertama yang membuat aku marah, tapi entah kepada siapa. Mungkin kepada mereka, bisa juga kepada diri sendiri. Aku mencoba menenangkan diri, sepertinya mereka bersekongkong untuk menguji kemampuanku membedakan bentuk fisik kerbau. Aku seperti berada pada masa orientasi masuk sekolah, dimana aku akan di uji oleh senior.

“Jadi, kau belum bisa membedakan kerbau-kerbau itu?”

“Belum, ini hari pertama aku gembala. Harusnya tadi aku tidak tertipu.”

“sudahlah, duduklah dulu tenangkan jiwamu. Kau merokok”

Aku tidak menjawab pertanyaan itu, tanganku mengeluarkan bungkus rokok dari dalam tentengan, Sapar menatap wajahku. Dia menghujani dengan banyak pertanyaan, mulai dari sejak kapan aku merokok, sampai membandingkan aku dengan ayah. Ayahku bukan seorang perokok, dari kecil katanya. Tapi kenapa aku merokok, aku juga tidak tahu. Mungkin karena pergaulan kami berbeda, anak sekarang sangat jarang yang tidak merokok. Lagi pula merokok bukan tindakan yang melawan hukum, hanya saja untuk anak seumurku katanya belum elok. Biasanya aku sembunyi-sembunyi, kalau di padang gembala kemana aku harus sembunyi. Begitu pikirku. Sapar terus memandang, aku tidak segan menyulut rokok di depannya. Setelah isapan pertama, aku melihat dia tersenyum. Aku tak bisa menebak isi senyumnya, entah marah atau justru iba.

Matahari sepertinya sudah hampir lurus diatas kepala, Sapar memerintahku mengemas barang-barang. Hari ini kami akan ke Ngaludai katanya, Ngaludai adalah nama padang gembala yang menjadi tujuan kami membawa kerbau. Kata sapar nama itu di ambil dari Sungai Ludai, karena dialek orang kampung berubah menjadi Ngaludai. Kami bersama ternak harus mendaki bukit sekitar 250 meter dan akan bertemu padang gembala yang luas dari pada tempat sekarang. Tapi Sapar menyebut, rumput Ngaludai lebih bagus dari pada yang rumput yang tumbuh di Lubuak Tampui ini.

“Waktu kita disini hanya sampai jam tiga, di Ngaludai kita harus berpencar. Cari posisi duduk yang menurut masing – masing nyaman, perhatian kita tidak boleh lepas dari kerbau –kerbau. Kalau kerbau bisa melewati garis tempat duduk kita, maka kita dalam masalah besar. Kerbau akan sampai ke ladang gambir di atas bukit sana,“

 Sambil menunjuk ke arah bukit, Sapar memberiku pengarahan seperti jendral perang dalam beberapa film yang pernah aku tonton. Aku berjalan ke arah utara dan duduk di bawah pohon rindang, radio masih asik bernyanyi. Setelah meletakkan barang, mataku tertuju ke hamparan tumbuhan kemunting. Mereka tumbuh tak beraturan, tapi banyak. Aku memetik beberapa untuk di makan sambil duduk santai di bawah pohon,  mata tidak boleh lengah. Apalagi sampai tertidur, pelecut harus berada tidak jauh dari tangan.

“Hei Leman !“

Lihat selengkapnya