Tapak Leman

Rori Maidi Rusji
Chapter #2

Sungai Panjang Indah

Perjalan pagi menuju sekolah seperti mendapat semangat tambahan dalam diri. Jarak sekitar dua kilometer sudah menjadi medan yang ringan, karena setiap pagi akan aku lakukan. Keringat akan usai setelah melihat keramaian sekolah. Jalan terasa singkat ketika bertemu kejutan-kejutan, seperti bertemu teman sama pejuang jalanan. Sama berjuang dengan betis yang penat menuju sekolah. Matahari belum memberi panas berlebihan, satu buku terselip di pinggang bagian belakang. Pinggang celana sudah menjadi saku untuk buku yang satu ini, aku tidak mau tahu buku tulis ini untuk mata pelajaran apa nantinya. Yang jelas semua catatan mata pelajaran terhimpun jadi satu. Agar mudah dibaca, begitu pikirku. Ini sudah kemajuan dalam diri untuk menghadapi tahun ajaran baru, biasanya hanya pena yang terselip di celana bagian betis. Sengaja di jahitkan saku kecil di bagian betis celana, untuk diisi dengan pena. Celana yang mengembang ke tumit jadi andalan, potongan spanyol kata teman-teman sekolah.

“Sendirian?”

Tetiba suara itu mengejutkan, aku menoleh dan menyadari ternyata dari tadi ada siswa yang membuntuti. Sebenarnya aku berharap bertemu wanita, siswa baru yang masih fresh. Tapi pagi ini bertemu Don, tak apalah dari pada melamun sendiri di jalan.

“Sekarang berdua”

“Bersama siapa?”

Aku hanya memonyongkan mulut kewajah Don, dia terlihat tersenyum. Bayangkan kalau itu wanita, mungkin bisa membasuh peluh. Don acap kali kutemukan di rumah dekat pangkal jembatan ini, walaupun itu bukan rumahnya. Setahuku rumah ini sudah lama ditinggal penghuni, biasanya dia duduk di kursi bambu depan rumah, tapi kali ini berbeda. Dia datang tiba-tiba, sepertinya dari belakang rumah. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Don akan menghabiskan sebatang rokok dulu di rumah itu. Baru selesai makan pagi dari rumah, selalu itu menjadi alasannya. Aku mulai dekat dengannya dari kelas satu, sampai sekarang. Awalnya karena sering jalan bersama dari pangkal jembatan menuju sekolah, sampai kepada malam-malam yang sering kami habiskan bersama. Sebenarnya ada lagi satu orang temanku namanya Zul, tapi pagi begini dia tidak seperti kami. Berjalan sambil tertawa dan cerita apa saja tanpa menghiraukan penat kaki, karena dia punya sepeda motor. Zul termasuk orang berada, tapi sering berhitung dengan uang keluar. Kalau sedang baik alamnya, puaslah kami di traktir di kantin sekolah. Ketika alamnya sedang buruk, kami berdua hanya menonton Zul makan bertambuh di kantin sekolah.

“Mendaftar jurusan apa Leman?”

Don sepertinya penasaran dengan pilihan jurusanku, aku sengaja tidak memberi tahu siapapun dengan pilihanku. Don menceritakan tentang pilihan, dia memilih jurusan ilmu pengetahuan sosial. Karena baginya belajar ilmu eksak membosankan, mungkin karena itu nilai mata pelajaran eksak di buku rapornya buruk, ketika akhir semester kemaren. Sebenarnya pilihan kami sama, tapi aku sembunyikan dulu. Semoga saja nanti aku, Don dan Zul masih satu lokal seperti kelas dua kemarin.

“Nanti kamu akan tahu sendiri, ketika daftar nama sudah terpampang di majalah dinding sekolah.”

Kutengok muka Don penasaran, entah mengapa aku selalu mendapat kepuasan ketika melihat wajahnya dipenuhi rasa penasaran. Pipinya yang bulat tampak kembang kempis seperti menghembus angin lalu, mungkin hatinya panas. Dari dulu dia tidak bisa menyimpan rasa penasaran. Kalau penasarannya memuncak, dia akan sibuk bertanya tentang hal itu. Tidak akan bertukar topik pembicaraan.

Kami sampai di gerbang sekolah, pintu masuk pagar lebih tepatnya. Karena memang tidak ada bangunan seperti gerbang. Aku menghirup napas dalam-dalam, aroma yang lama aku rindukan tercium pekat. Selamat datang kembali di sekolah Sungai Panjang Indah, begitu gumamku. Walau sekolah ini setengah bersemak, tapi cukup membuat pikiranku merindu. Tidak seperti semak di padang gembala bersama sapar, hanya membuat pikiran samak. Menghapal tubuh kerbau, dan berteman orang-orang yang sudah tua. Setiap hari memakan petuah, semuanya anjuran kebaikan. Tapi mereka terlihat tidak seperti orang-orang baik, karena sering mengolok-olokku.

“ Pak Ketua Sudah Datang. Bersama asisten pribadinya.”

Zul berbicara lantang dari parkiran, dia setengah mengejek. Dia tidak pernah memanggilku dengan nama ketua sebelumnya, walaupun ketika kelas dua aku memang seorang ketua Osis. Sepertinya dia ingin bercanda, muka Don terlihat merah padam mendengar itu. Mungkin Don tersinggung dikatakan asisten pribadiku. Zul tidak akan peduli dengan itu, dia orang kaya dan lazim mengejek kami.

Lihat selengkapnya