Tarabunga

Jejak Annie
Chapter #1

Perempuan

Betapa rumit memang isi kepala perempuan. Seakan otaknya berisi ruas-ruas jalan yang kebanyakan belum jelas arah tujuan. Perihal banyak hal coba disatukan dalam organ lunak yang cuma berukuran dua persen dari berat tubuh. Yang meski tampak begitu kecil secara ukuran, ternyata organ itu mampu mengendalikan seluruh ruang geraknya.

Hanya kekuatan dari langit saja yang menjaganya agar tak limbung. Mengingat bahwa perempuan, sejujurnya, tidak mudah untuk melakukan upaya pertahanan diri. Sekalinya kolaps, remuklah ia semudah menginjak daun kering. Ada pula teori yang mengatakan bahwa pikiran dan emosi perempuan itu menyatu, seperti dua elemen yang sulit dipisah meski dipaksa.

Lain lagi dengan ekstrim lain yang berkata kalau perempuan bukanlah makhluk pemikir. Mereka cuma andal memakai perasaan. Jika dunia perasaan itu guncang, laiknya angin topan, luluh-lantaklah seluruh peradaban. Sungguh pendapat hiperbolis yang pernah ada. Jika perempuan bukan pemikir, lantas mengapa ia disebut rumit? Tidak ada yang bisa masuk dengan mudahnya ke dalam dunia pikirannya. Bahkan kadang-kadang dirinya sendiri pun tidak dapat.

Demi apapun, aku masih belum tahu dari mana asal-muasal pendapat ini. Yang kutahu, emosi perempuan sekalipun, itu berasal dari otaknya. Jika sistem limbik di otak bekerja lebih aktif, maka sebenarnya manusia itu sedang banyak mikir alias depresi. Tunggu dulu! Pun teori ini kudapatkan dari Sago, obois idola banyak wanita pengunjung Sambulo. Alih-alih belajar ilmu neurosains, ia sebenarnya seorang alumnus Etnomusikologi dari kampus ternama di kota ini. Jadi, teori itu pun perlu diuji kebenarannya.

Kupikir pelarianku malam itu sudah paling baik, seperti malam-malam sebelumnya. Tetapi hanya dengan mengandalkan peripheral eye, Sago melihatku seperti aku melihatnya. Tertangkap basah kadang membuatmu berhasrat ingin basah sekalian. Aku tidak menghindar. Malah memilih duduk di tempat biasa.

Sudah bisa kutebak kelanjutannya. Sago mendekat dan tak lupa mengedipkan sebelah matanya terlebih dahulu. Usiaku dengannya terpaut tujuh tahun. Walau begitu, ia tidak suka dipanggil Bang. Terlalu Medan, katanya.

“Kau tidak akan berhasil merayuku!” semburku tanpa basa-basi. Sago mengangkat kedua tangan berlagak menyerah. Lalu tertawa lepas.

“Ada request?” tawarnya.

Killing me softly by Kenny G, please..

As you wish.” Demi bertanya hal itu, dia menghampiriku untuk kemudian kembali lagi ke atas panggung.

Sepeninggalnya, dapat kurasa ada yang berubah dari garis-garis senyumku. Garis itu seakan ditarik untuk menghasilkan senyum palsu. Untungnya air mukaku bisa tersembunyi dari pantauan pria itu. Pertama, tempatku duduk dengan panggung berjarak agak jauh. Kedua, cahaya lampu di tempat itu redup nyaris padam, yang kalau dipikir-pikir bisa mendorong orang melakukan apa saja secara sembunyi-sembunyi.

Persona ini tidak hanya muncul di depan Sago. Apalah arti senyum palsu bagi rekan-rekan kerjaku di kantor, orang-orang yang kutemui di jalan, pramusaji-pramusaji kafe Sambulo. Mereka tidak mungkin bisa membedakan manakah senyum yang nyata keluar dari hati. Lagipula apa peduli mereka. Selagi melihat garis bibir melengkung ke atas dan sedikit melebar, pastilah mereka menyimpulkan bahwa aku sedang bahagia. Manis. Miris.

Kupandangi bayang-bayang bentuk tubuh Sago yang gagah saat meniup obo. Begitu lebih baik daripada menampilkan roman muka masam. Selagi dia beraksi dengan alat musik, tentunya membawakan Killing Me Softly, aku menolak memejamkan mata. Takut hanyut dan terbawa arus kesedihan yang belum surut. Memalukan menangis di keramaian, meskipun remang, meskipun tidak ada yang mengenal.

Sebisa mungkin, kubangun pertahanan diri untuk tidak patah. Berharap ini sekaligus jadi pembuktian bahwa pernah ada perempuan yang berhasil melakukan upaya pertahanan diri supaya tidak dianggap lemah. Inilah yang membuatku berakhir di kafe ini setiap malam. Hiruk-pikuk sedikit menolongku untuk tak perlu menyelami emosi-emosi yang tidak ingin kukenali.

Lihat selengkapnya