Tarabunga

Jejak Annie
Chapter #2

Horas

Soposurung, 2004

 

Basah dalam ingatan, aksen Pak Haposan ketika meneriakkan namaku. Huruf e-nya kedengaran lebih kasar dan punya penekanan. Belum lagi huruf f dalam namaku lantang diubah jadi p. Aku sudah perhatikan caranya membaca nama-nama murid baru. Ketika namaku yang kebanyakan e itu dipanggil, aku sudah tak peduli reaksi orang-orang.

Energi murid baru masih penuh. Kebetulan pula mentalku tak mudah ciut jika perkara nama saja aku sudah ditertawakan. Bagaimana pun aku melihat banyak kenorakan di hari pertama itu. Termasuk rokku yang berayun-ayun seperti bukan rok anak SMP. 

Kata mamak yang konvensional: lebih baik membeli rok ukuran paling besar karena aku masih dalam masa pertumbuhan. Jadi, -masih kata mamak- rok besar bisa digunakan sampai tamat.

Belum lagi warna kemeja murid baru yang mencolok di bawah matahari. Membuat mata silau. Juga pemandangan kaos kaki yang masih tertempel cap, topi Tut Wuri Handayani yang tulisannya mengabur –mungkin warisan dari kakaknya-. Juga warna kulit manusia di kabupaten kecil itu yang mengilap seperti jelantah. Apapun itu, tidak ada yang terlalu norak di sekolah kabupaten.

Biar kujelaskan sekalian. Sekolah yang kumaksud terletak di Soposurung, hanya sekitar empat kilometer dari ibukota Kabupaten Toba. Bisa juga Soposurung ini disebut sarang sekolah. Dalam kalimat yang lebih baik, kawasan pendidikan. Sebab terdapat banyak sekolah dengan beragam tingkatan disana. Jika ada yang unik lagi dari tempat itu ialah motor sopo yang sering bertengger di terminal. 

Sejak pertama kali melihat angkutan umum bernama motor sopo jurusan Balige-Soposurung itu, aku langsung jatuh cinta. Ia mungkin sejenis Mitsubishi Colt seri T atau juga Daihatsu –seri apa aku tidak tahu- yang sengaja dimodifikasi berbentuk kotak dan berpintu belakang. Bagiku, mereka seperti peninggalan berharga suatu zaman. Sangat tua, nyaris rongsok, tapi masih berfungsi. Jelas masih berfungsi dengan baik sebab tidak jarang aku melihat mereka racing demi mendapatkan penumpang. 

Dua hal saja yang kusesalkan. Pertama. Mungkin karena telah tergerus zaman, untuk membuka pintu minivan lawas itu, kau harus berdoa dulu. Kedua, aku jarang menaiki angkutan itu. Karena arah pulang dan pergiku tidak dilalui si motor sopo. ~

Aku melenggang ke kelas baru sesuai instruksi Pak Haposan. Dengan kecepatan dan ketepatan pandang, segera kudapati letak kursi yang kosong yang sekiranya sesuai dengan kepribadianku. Lorong ketiga, tempat duduk paling belakang. Pilihan ini bukan tanpa alasan. Hari pertama akan kugunakan mengamati sekitar. Paling-paling, nanti juga akan dirotasi oleh wali kelas. Biasanya seperti itu.

Semua hal yang kulihat tampak menarik. Mungkin karena semua masih baru. Seorang anak yang duduknya tak jauh dariku, memamerkan buku dan alat tulisnya yang bergambar F4. Menjelaskan seputar Meteor Garden kepada teman yang lain. Yang mana Vic Zhou, yang mana Vannes Wu. 

Aku tersenyum walaupun saat itu masih bingung, mengapa meteor bisa melahirkan pria-pria tampan seperti yang mereka ceritakan. Mendengar nama meteor baru itu, aku merasa seperti baru juga turun dari planet bukan bumi.

Mata pengamatku lalu memandangi sekeliling ruangan yang didominasi bata merah. Gambar-gambar pahlawan, peta Indonesia, gambar presiden dan wakilnya, tergantung di dinding. Dan di antara semua itu, yang paling menarik lagi adalah coretan love is blind bertinta merah di salah satu sisi dinding kelas. Diukir dengan kaligrafi yang lumayan bagus juga ukuran tulisan yang cukup besar. 

Kusebut menarik, karena tidak di sekolah, tidak di angkutan umum, di banyak tempat aku selalu menemukan kalimat itu. Seolah-olah hanya tiga kata Bahasa Inggris itu saja yang paling mengesani anak-anak masa transisi.

Masih belum puas mengamati, tiba-tiba pandanganku terhalang seorang anak yang sepertinya akan berjalan ke arah mejaku. Ia berdiri menghadapku dengan lekuk tubuhnya menciptakan bayang di permukaan meja. Sangkaku benar. Sebelum duduk, dia menyapaku dengan ramah. Sesuatu yang tidak terpikir untuk kulakukan saat memasuki kelas. Aku pun tersenyum membalas. Lebih mengingat pesan mamak agar baik-baiklah dalam berteman.

“Horas,” anak itu mengulurkan tangan.

Langsung saja kusambut. “Horas…”

Tanpa perlu intro, dan seakan sedang berada di puncak kebahagiaan, anak laki-laki itu tertawa sejadi-jadinya. Bahkan jawabanku itu membuatnya berhasil menunda duduk. Membuat anak yang lain juga turut terpancing ingin mengetahui ada apa. Sial. Aku mengumpat dalam hati. 

Bisa-bisanya aku mengangggap kalau dia menyapaku dengan sapaan khas Batak seperti di pesta-pesta adat. Naluri masyarakat lokalku membuatku spontan menyambut kata itu dengan antusias. Sudah bisa kutebak dia akan bertanya apa.

“Namamu juga Horas?”

Cepat-cepat aku menggeleng.

“Jadi namamu siapa?”

Sebenarnya aku sudah tidak bersemangat untuk berkenalan.

Lihat selengkapnya