Tarabunga

Jejak Annie
Chapter #3

Anak Kampung

Di dalam diri gadis kampung alias perempuan dusun melekat berbagai tugas domestik. Tugas itu seperti menegaskan bahwa perempuan wajib cakap mengurusi rumah dan segala tetek-bengeknya.

Perempuan mesti bisa memasak, mengurus tanaman, menjunjung ember berisi air di kepala sambil kedua tangan mengangkat benda lainnya. Perempuan mesti santun berbicara, jangan tertawa dengan mulut lebar.

Dan sejujurnya di palung hati anak remaja sepertiku ini, aku sering mempertanyakan mengapa hanya aku yang melulu harus serba bisa dalam hal itu.

Sore yang kuhabiskan tidak pernah tidak melakukan hal-hal seputar tugas domestik. Dan setiap kali melakukannya –membersihkan kolong-kolong, mengelap benda-benda, menyapu daun-daun, meracik bumbu-bumbu- aku hanya bisa menatap iri kakak laki-lakiku yang tak diberi tugas yang sama.

Ia malah asyik seakan lupa waktu bermain di Parabuan, entah itu kasti, entah itu bola kaki, entah itu voli. Sungguh tidak sebanding dengan waktu yang kuhabiskan bermain lompat tali.

Parabuan memang punya daya magis. Mungkin daya tariknya berasal dari tumpukan bungkil padi di sudut lapangan. Mungkin juga dari cerobong asap kilang-kilang padi di sana. Mungkin juga dari suasana yang timbul saat seluruh anak dari berbagai kampung berkumpul untuk bermain apa saja.

Kalau bukan suara bapak-ibunya yang sahut-menyahut memanggil nama anak-anak mereka, kujamin anak-anak di Parabuan tidak tahu perbedaan siang dengan malam. Mereka akan terus bermain dan akan pulang hanya ketika perutnya mulai keroncongan.

Hanya ada satu anak laki-laki di Parabuan itu yang sanggup bilang tidak jika memang tidak ingin bermain. Ia tidak seperti ikan mati terbawa arus. Jika dipikir-pikir dia memang unik. Soalnya, setiap kali ia ikut bermain, ia pasti mengerahkan seluruh tenaga demi memenangkan kelompoknya.

Namun sekalinya tidak ingin bermain, ia tidak akan mau tahu dengan permainan apapun dan memilih jadi penonton saja dengan duduk-duduk santai di pinggir lapangan. Kadang-kadang aku heran di kepalanya ada apa.

Di antara anak laki-laki kampung yang berkulit cokelat gelap, hanya dia saja yang berkulit kuning langsat seperti jarang terbakar matahari. Kesukaannya bicara tata surya.

Jika sudah saatnya bagi mereka untuk mengaso, sehabis bermain satu putaran, ia akan menjejali anak-anak yang lain tentang apa saja yang diketahuinya tentang tata surya. Dan anak-anak yang lain akan memasang tampang tidak mengerti mendengar penjelasannya.

Yang ini agaknya lebih menyusahkan. Setiap kali tak ingin bermain, hanya ada dua aktivitas yang dilakukannya. Duduk-duduk di pinggir lapangan Parabuan atau bersepeda mengunjungi rumahku.

Di saat berkunjung, dia akan dengan bangga membunyikan bel sepeda musiknya yang menghasilkan kira-kira delapan bunyi itu. Aku sampai hapal bebunyiannya. Tidak lupa di keranjang depan sepeda, ia akan menaruh buku apa saja mengenai tata surya. Nama anak itu Arga.

Seperti pertanda alam, aku yang bersibuk dengan tugas domestik sore hari akan keluar membawa sekop setelah mendengar bunyi bel itu. Kemudian ia akan tersenyum tersipu seolah-olah aku memang menyambut kedatangannya.

Arga akan membuntutiku ke mana pun sambil membunyikan bel sepeda. Respon apapun yang kutampilkan, ia merasa semua itu adalah pertanda baik.

“Kau pernah menonton film India?” tanyaku karena pernah merasa putus asa mendengar bunyi bel sepedanya.

“Pernah, kenapa?”

“Kau seperti penjual susu di film-film itu, tahu? Mereka suka membunyikan bel setiap kali mengantar susu!”

Arga cengengesan.

Dan masih bisa-bisanya dia bertanya balik, “Kau suka menonton film India ya?” Sumpah mati, aku yang lama-lama dibuatnya pening.

Persinggunganku dengan anak laki-laki memang tidak pernah baik. Sekali waktu, kampungku kedatangan penduduk baru. Anak laki-lakinya kembar pula. Sekalinya kami bermain, aku malah mengajak mereka dan dua anak perempuan lain berperan pura-pura. Menirukan kisah di sinetron Tiga Bidadari yang memerangi kejahatan.

Aku dan kedua anak perempuan membentuk kelompok yang akan berjuang melawan para penjahat yang diperankan kedua anak kembar itu.

Awalnya cuma ciat-ciat biasa. Tanpa alat, sesuai kesepakatan. Apalah kemampuan bela diri seorang anak apalagi anak perempuan seperti kami yang tahunya berkutat pada pekerjaan rumah.

Lihat selengkapnya