Tarabunga

Jejak Annie
Chapter #4

Inang

Anak-anak yang berhamburan ke Parabuan jadi pertanda kalau aku harus memulai tugas domestik. Sambil dalam hati aku berharap tak diganggu igauan Arga tentang benda-benda langit.

Meski sudah kuberi lampu hijau untuk berkunjung dan meski bel sepedanya itu benar-benar sudah dicopot, tapi biasanya dari jauh suara anak itu akan melengking memanggil namaku. Seluruh bagian dari dirinya seakan dapat menyumbang polusi suara.

Hanya, tak perlu berkhayal ia tak datang. Bisa jadi anak-anak di Parabuan sudah mencapnya lupa kawan karena hampir setiap sore bertandang ke rumahku. Sesekali ia membantuku menyingkirkan dedaunan di pekarangan. Sesekali cuma mengantarkan martabak kacang. Dan selebihnya membual tentang tata surya.

Di sore yang kedatangannya tak terlalu kuharapkan itu, tidak seperti biasa Arga kelihatan murung. Gelagatnya menyiratkan sesuatu. Mudah membaca keadaannya dari air mukanya. Sementara aku tak pula suka bertanya ada apa atau kenapa. Juga sejauh yang kutahu, ia akan mengeluarkan isi hatinya tanpa aku perlu menyusun pertanyaan pengantar.

Salah satu pembeda antara aku dengan Arga ialah kemampuannya mengeluarkan isi kepala. Ia lugas, intens, terbuka. Tidak pernah ia membiarkan sesuatu tersangkut tidak jelas di dalam pikirannya. Tentunya pengenalan ini tidak kutemukan dalam satu dua kali pertemuan.

Banyak sore kami habiskan di atas gundukan tanah Bukit Saga, dekat Partangisan. Bukan di kuburan. Bukan. Demi duduk di atas gundukan tanah itu, Arga rela membantu menyelesaikan tugas domestikku.

“Kemarin mamaku mendatangi rumahmu kan?” mulai Arga ketika aku masih bersibuk menaruh sendal jepit jadi alas duduk.

Langit masih cerah sewaktu kami sampai di Bukit Saga, nama gundukan tanah Partangisan yang kami beri sendiri. Langit nyaris putih seluruhnya, asri bersanding dengan kuning padi.

“Iya. Kupikir mamamu akan menegurku karena martabak kacangmu. Sekali lagi kalau kau mau memberiku martabak, jangan curi dari keranjangnya. Rasanya martabak yang kumakan itu sudah ditaburi dosa!”

Arga tidak menyambar. Biasanya ketawanya sampai mengusik burung-burung. Muka masamnya belum juga berubah.

“Itu bukan karena martabak. Kau tidak dengar apa yang mereka bicarakan?”

“Aku tidak suka mendengar cerita orang dewasa. Lagipula itu tidak sopan," kujawab dengan santai. Sementara Arga mulai menghela napas.

“Untunglah mamaku mendatangi rumahmu. Dia pasti perlu teman bercerita. Mungkin tidak enak bercerita segala hal padaku,” katanya lagi.

Memang cukup sering kedua orangtua kami bertemu, mengobrol, saling menepuk pundak, lalu lanjut berbincang lagi. Dan meski hatiku dipenuhi rasa penasaran, aku tidak pernah bertanya apapun tentang itu. Aku sudah dapat menebak, mamak pasti akan menjawab tidak ada apa-apa. Melulu menjawab begitu, aku jadi enggan menunjukkan rasa ingin tahu.

“Tadi pagi orangtuaku bertengkar lagi.”

Arga menunduk. Sekali itu aku melihatnya menitikkan air mata. Air mata anak remaja yang waktu itu kupahami sebagai rasa tidak berdaya, lemah, cengeng. Itulah kali pertama aku melihat anak laki-laki menangis di depanku tanpa rasa malu. Dan aku nyaris tidak tahu harus memberi respon apa.

Lihat selengkapnya