Taraka

Siska Ambar
Chapter #1

#1 Limas Sebagai Segitiga

Januari 2016

Permulaan pagi ini hampir saja tak diawali dengan senyum. Ada sedikit kekesalan di pembuka hari. Namun, melihat tukang becak yang semangat mengayuh becaknya di bawah guyuran hujan, aku merasa tertampar. Kuperhatikan sejenak tukang becak yang kuperkirakan usianya lebih dari setengah abad itu melaju pelan di atas jalanan basah. Berkali-kali mobil, bus, maupun sepeda motor yang sedikit ugal-ugalan menyalipnya. Aku yang hampir mengeluh menjadi merasa begitu kurang bersyukur atas kesempatan baik yang sebenarnya sudah kudapatkan. Kutarik napas panjang karena menyadari jika bebanku bukan yang terberat di dunia ini. 

Jika awalnya setiap detik terasa begitu menyenangkan dengan banyaknya perkenalan, maka semuanya berubah seiring berjalannya waktu. Sebenarnya semuanya masih tentang perkenalan yang berlanjut. Bedanya bukan hanya sebatas mengenal sampulnya lagi melainkan mulai mengenal tiap detail yang dimiliki oleh objek itu. Itu? Ya, dunia baru yang sejatinya selalu memiliki lembaran baru setiap harinya. Lembaran menuju susunan kata yang lebih kompleks. Tidak lagi sekadar namanya apa melainkan pada bagaimana sejarah mencatatnya dalam tiap halaman. 

Hari ini salah satu halaman baru terbuka. Dengan seragam khas awal minggu, seseorang telah menyampaikan sebuah kabar menggembirakan. Beliau seperti membawa angin segar setelah semalam hujan mengguyur bumi dan menyisakan titik-titik basah di pucuk dedaunan. Beberapa antusias menyimak. Sebagian besar sudah hilang konsentrasi. Entah karena sudah terlalu lama berdiri atau sibuk memikirkan ulangan harian setelah upacara ini selesai. Sebagian yang lainnya sibuk dengan pikiran masing-masing. 

"Bapak berharap semua siswa kelas XII bisa lebih fokus lagi. Pelajaran tambahan akan dimulai minggu depan."

Pak Husein menyudahi amanat pagi ini. Kabar tadi memberiku energi baru. Bagaimana tidak? Rumus-rumus integral dan turunan sudah membuatku pusing beberapa hari ini. Aku masih belum bisa memahaminya. Jika diadakan pelajaran tambahan itu berarti aku bisa mendapat kesempatan untuk memahami ulang materi yang belum kupahami. Namun, sebentar dulu. Makna kedua adalah aku akan pulang lebih sore. Setengah jam lebih lama dari jam kerja Bapak. Makna yang ketiga adalah Bapak akan menungguku sejenak setelah seharian bekerja. Ah, aku berharap hujan tidak turun dulu sebelum kami sampai di rumah. 

Hujan di awal tahun 2016 memang bukan peralihan dari kemarau. Sudah beberapa bulan ini hampir setiap harinya mendung memayungi dan perlahan air hujan turun seolah ditumpahkan dari langit. Pagi tadi juga sama. Rok abu-abu yang kupakai masih sedikit basah. Mantel yang hanya menutupi tubuhku sampai lutut jelas membiarkan kakiku basah. Untung sepatuku sudah kuamankan dalam plastik dan baru kupakai di depan gerbang masuk. Alhasil rasa dingin menyusup melalui pori-pori. Suasana dingin ini semakin terasa karena kipas angin di langit-langit kelas sudah berputar dengan kecepatan penuh. Teman-teman yang lain merasa begitu gerah setelah hampir satu jam berdiri di lapangan. 

Hingar bingar tahun baru masih terasa. Apalagi bertepatan dengan pergantian semester. Hanya dalam hitungan beberapa bulan lagi aku akan lulus dari sekolah ini. Tempat yang sudah memberiku begitu banyak kisah. Satu kisah utama dan selebihnya adalah kisah yang sengaja kuletakkan di tepi. Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa Bapak dan Ibu sudah menyekolahkanku hampir dua belas tahun. Dua kali lipat dari lamanya jenjang sekolah yang pernah Bapak dan Ibu tempuh. 

Tahun sudah berganti. Pelajaran siap berlanjut. Ada impian yang sudah kususun untuk tahun ini. Di tengah ramainya pembicaraan tentang kembang api dan petasan yang meledak tiada henti beberapa hari lalu, sebuah suara mampu membuat seisi kelas terdiam. Semua kembali ke kursi masing-masing. 

"Ah, kok sudah bel kedua sih? Padahal masih ada cerita serunya lagi."

Sebuah bisikan mengeluh terdengar oleh telingaku. Dia salah satu temanku yang suka bercerita. Cerita petasan dan pesta akhir tahunnya baru sampai di pintu konflik. Tentu dia kecewa karena puncak ceritanya belum tersampaikan. Dengan suara yang makin cepat sembari melongok keluar jendela, ia masih berusaha menyelesaikan apa yang sebenarnya ingin diceritakan. Tentang seseorang yang dikaguminya mau menemaninya membeli buku baru di kota. sontak saja beberapa teman yang lain menjerit mendengar nama yang baru saja disebut. Beriringan dengan jeritan yang semakin menjadi, derap langkah terdengar sudah sampai di depan pintu kelas. Cerita tadi belum tamat sebab akan bersambung lagi nanti.

Pelajaran pertama adalah sejarah. Senin pagi sudah diawali dengan hujan deras, upacara yang lumayan lama, dan sekarang pelajaran sejarah. Bagi yang tak menyukai pelajaran sejarah maka ini akan menjadi waktu yang lama. Detik akan berdetak lebih lambat bagi yang tak menyukai perjalanan cerita dari zaman dulu sampai saat ini. Hal yang membuatku tertarik adalah kisah luar biasa di setiap masa. Ada perjuangan dalam semua waktu. Tokoh besar melalui banyak pengorbanan sebelum mendapat apa tujuannya. Darah dan nyawa adalah taruhan bagi pahlawan. Tak dapat dipungkiri jika kebebasan dari belenggu penjajahan adalah berkat perjuangan banyak pahlawan. Aku tahu jika semua yang telah berjuang adalah pahlawan. Cerita itu tercatat dalam sejarah. Mereka telah mengukir kisah sepanjang masa. Aku ada di masa kini untuk belajar dari kisah mereka di masa lalu. 

"Silakan dibaca halaman 72. Setelah itu kerjakan latihannya."

Beragam reaksi muncul. Hal yang lumrah. Beberapa terlihat memanyunkan bibir. Tentu saja tanpa suara berlebihan sebab khawatir akan memunculkan tugas tambahan baru.

"Dikumpulkan atau tidak, Pak?" tanya Odi. Dia salah satu murid paling rajin mencatat. 

"Iya dikumpulkan hari ini juga."

Reaksi selanjutnya muncul. Beragam tatapan dan lirikan dari ujung ke ujung terlihat samar. Guru sejarahku jelas tak ingin membuat kami membuang waktu dan kehilangan momen untuk menciptakan sejarah bagi diri kami masing-masing. Jika dikatakan bahwa tugasnya tak perlu dikumpulkan, jelas akan banyak yang memilih menunda untuk mengerjakan. Jurus jitu untuk membuat kami mau tak mau membaca. Akhirnya semua sibuk membolak-balik halaman buku. Dua jam pelajaran sejarah berlangsung sepi sebelum nanti berganti dengan pelajaran lain. 

Lihat selengkapnya