Taraka

Siska Ambar
Chapter #2

#2 Berlabuh di Paris Van Java

"Pak, besok Bapak libur tidak?" tanyaku setelah makan malam sederhana keluarga kecil kami selesai. 

"Tidak. Besok kan bukan hari minggu. Apa kamu libur, Nak?"

"Iya. Besok ada rapat pembahasan ujian sekaligus ada kunjungan dari sekolah lain, Pak."

"Ya sudah besok ikut ngarit saja," ucap Ibu. 

"Besok Bapak lembur ya, Bu."

Aku menoleh. Bapak terlihat sangat lelah hari ini. Tadi hujan mengguyur kami sepanjang perjalanan pulang. Padi-padi yang hampir menguning di sawah sebelah kanan-kiri jalan terlihat digenangi air cokelat. Pak tani pasti amat senang karena pasokan airnya melimpah berkat air hujan. Di tengah kegembiraan tak terlukiskan itu, aku dan Bapak menerabas rinai hujan dengan mata perih. Kedinginan dan rasa lelah menyatu dalam dua raga yang berharap agar perjalanan itu cepat sampai pada tujuannya.

Sesampainya di rumah, Bapak langsung mandi. Aku memilih menghangatkan diri dulu di depan tungku. Aku bersyukur karena besok tidak masuk sekolah. Jika tidak, sudah dipastikan aku akan memakai seragam basah lengkap dengan sepatu dan kaos kaki yang sama basahnya. Tak ada setrika jadi kami mengandalkan angin dan sinar matahari untuk mengeringkan baju. Bukuku aman karena sudah kumasukkan dalam plastik, perlengkapan yang kini tak boleh tertinggal dari tasku. Setelah semua selesai, kami berakhir bersama dalam jamuan makan malam olahan Ibu. 

Aroma mendoan menguar bersama kepulan kopi hitam milik Bapak. Mendoan adalah menu yang hampir setiap hari tersedia di meja makan. Bapak dan Ibu masih sibuk berbincang tentang kambing yang sebentar lagi akan melahirkan. Tak sia-sia usaha Ibu setiap hari harus keluar masuk hutan demi mencari rumput segar. Semangat Ibu bertambah sejak tahu kambingnya akan memiliki anak lagi. Perbincangan di antara suara jangkerik yang diam-diam bersahutan berlangsung sampai makan malam usai. 

Meja makan dan ruang tamu menyatu menjadi satu. Pikiranku terpusat pada formulir di hadapanku. Sejak harapan itu muncul satu setengah tahun yang lalu, setiap hari aku selalu berusaha keras belajar. Sesulit apa pun materi yang diberikan oleh guruku di sekolah, aku selalu mencoba mengulanginya lagi dan lagi. Aku tak ingin menyia-nyiakan waktuku. Kesempatan itu hanya sekali dan akan datang beberapa minggu lagi. Debar jantungku terdengar lebih keras saat kutahu impian itu akan menjadi nyata atau justru kandas. 

Aku ingat betul salah satu nasihat guru agamaku. 

"Saya hanya anak petani biasa. Adik-adik saya banyak dan kondisi ekonomi kami juga pas-pasan malah kadang tidak mencukupi kebutuhan. Tapi saya punya impian. Saya berani bermimpi dan percaya bahwa impian itu akan menjadi kenyataan dengan usaha keras dan doa kepada Allah. Apa pun yang terjadi saya percaya bahwa semuanya adalah yang terbaik. Jadi, jangan takut untuk bermimpi. Tuliskan impianmu lalu usahakan semaksimal mungkin," ucap Pak Yadi, guru agamaku sebelum mengakhiri pelajaran. 

Kalimat Pak Yadi menyindirku. Saat itu aku dengan sengaja mengosongi kolom jurusan kuliah jika kelak nanti lulus. Ketika itu aku masih duduk di kelas sebelas awal. Angket yang kukumpulkan memang kosong beberapa bagian. Entah sudah membaca angketku atau belum, tapi kalimat Pak Yadi mengalir ke dalam hatiku. Kalimat itu seolah ditujukan khusus untuk membuatku sadar. Sejak saat itu aku mencoba untuk berani bermimpi. Impian yang sampai saat ini menjadi tujuan utamaku. 

Bola lampu itu berpijar. Menerangi sejak Bapak memutuskan untuk memasang listrik di rumah. Sebelum ini aku selalu belajar dan menghabiskan malam bersama temaram lampu minyak. Jejak jelaga di dinding yang terbuat dari kayu dan anyaman bambu masih terlihat dengan jelas. Bukti bahwa kami pernah berbaur dengan cahaya redup tetapi menerangi. 

Cahaya itulah yang mampu membuat motivasiku bangkit. Sumber cahaya itu yang mampu membuatku berani bermimpi. Beningnya membiaskan keraguanku. Aku ingin seperti cahaya itu. Menerangi dalam gelap. Aku ingin mengenalnya. Ingin berada dalam dunia itu. 

Entah sejak malam kapan aku menghadirkan impian itu. Saat itu mati listrik dan Ibu kembali menyalakan lampu minyak. Tiga jam lebih jaringan listrik mengalami gangguan lantaran hujan deras. Saat itu juga sedang musim hujan. Saat masih menggunakan lampu minyak, kami terbiasa dengan cahayanya. Saat beralih ke bola lampu, perlahan kami juga beradaptasi. Saat mati listrik kami mencoba beradaptasi juga. Aku ingat betul malam itu impian besarku lahir dalam benakku. 

Menjadi penerang adalah impian baruku. Aku ingin menjadi bagian dari orang-orang hebat dalam dunia perminyakan yang mengabdi kepada bangsa ini. Aku ingin menjadi bagiannya dengan mengenyam pendidikan di teknik perminyakan. Aku tahu tujuanku. Di Institut Teknologi Bandung aku ingin mendapat ilmu tentang dunia perminyakan. Di Paris Van Java ingin kulabuhkan segala mimpi. Muara cinta akan mempertemukan semua pengorbanan. Cinta pada Bapak dan Ibu adalah hulu dan hilir perjuanganku. Berawal dari cinta dan berakhir dengan cinta. Itulah alasan mengapa selalu kutepikan cinta pada selain yang harus kucintai saat ini. 

Kau tahu rasanya jatuh cinta? Entahlah. Yang jelas setiap saat impian itu membayangiku. Yang terlihat dari cahaya adalah impian. Di mana-mana ada impian yang seolah mengawasi kesetiaanku dalam menjaga langkah menuju padanya. Riwayat pencarian di ponselku berisi informasi tentang seluk beluk dunia perminyakan. Tahukah kau bagaimana perasaanku begitu bergelora saat melihat mobil pertamina melintas? Mimpiku semakin mengerucut. Aku ingin menjadi bagian dari PERTAMINA setelah menyelesaikan pendidikan di fakultas teknik perminyakan Institut Teknologi Bandung.

Lihat selengkapnya