Taraka

Siska Ambar
Chapter #3

#3 Senyum, Suluh, dan Angka

Sejauh mata memandang, dedaunan hijau menghiasi pandangan. Beberapa pohon yang mulai menguning daunnya juga terlihat jelas degradasi warnanya. Hamparan pohon karet ini meluas sampai meliput beberapa desa. Aku sendiri belum pernah mengitari dari ujung hingga ujungnya. Yang kutahu setiap sisi batasnya sudah berbeda wilayah. Perkebunan karet di Banyumas ini adalah sumber penghidupan bagi banyak pihak. Aku merasa kuasa Tuhan memenuhi tiap sisi bumi dengan rahmat-Nya.

Rumput tumbuh dengan subur saat musim penghujan seperti ini. Tanaman liar juga tak sulit tumbuh lantaran pasokan air, pupuk alami, dan cahaya matahari yang memadai. Poin utamanya adalah pohon-pohon karet itu. Setiap hari diambil getahnya. Ada sebuah pabrik yang menampung kumpulan tetes getah itu. Letaknya di dekat jalan raya utama jalur Buntu. Jalan yang cukup terkenal karena seringnya terjadi kecelakaan di beberapa titik dan juga dengan beberapa mitos yang masih dipercaya.

Beberapa warga menggantungkan hidupnya sebagai buruh di pabrik atau sebagai penderes getah pohon karet. Bahkan ada yang jauh dari luar kota. Merantau ke Banyumas untuk bekerja dan tinggal di tengah hutan. Keputusan yang tak mudah namun dikuatkan oleh senyum keluarga yang menunggu di rumah. Tak sedikit pula yang menjadi pencari rumput dan kayu bakar, seperti ibuku. Berburu burung atau puyuh hutan juga bisa dilakukan di area itu. Kombinasi ekosistem yang menyatu, saling menguntungkan, meski beberapa pihak kadang dirugikan. Pemangsa kadang tak memandang buruannya. 

Sinar matahari telah menguapkan sisa-sisa embun di ujung dedaunan pohon karet. Rumput-rumput jelas masih menyisakan jejak basahnya karena sinar matahari terhalang oleh dedaunan karet. Suara angin yang menerpa helai-helai daun menimbulkan irama tersendiri di antara suara gemericik air sungai. Kicauan burung menjadi musik alam. Bersahutan saling menyapa, mengabarkan betapa nikmat sudah menjadi pembuka hari. Anugerah karena masih bisa terbangun dengan sehat tentu menjadi rasa syukur yang berharga.

Sreeekk... Sreeekk... Suara sabit menyiangi rumput juga terdengar dari beberapa sudut diselingi percakapan ringan. Saling sahut-menyahut dari sisi yang berhadapan untuk berkomunikasi adalah pemecah kesepian. Sebenarnya tak perlu merasa sepi, toh kicau burung juga mengalun menjadi musik alam. Beberapa orang sudah tersenyum sumringah. Setengah karung sudah terisi rumput atau karena ember milik penderes getah sudah terisi hampir penuh.

Tadi kami berangkat dari rumah pukul sepuluh karena harus menunggu rumput-rumput ini tak terlalu basah. Kami berangkat bersama para tetangga. Obrolan panjang seputar arisan yang tak kunjung dapat menemani langkah sampai di tengah hutan. Setelah itu semuanya mencari posisi terbaik yang dianggap menjadi area rumput-rumput paling segar. Semua sibuk mengumpulkan rumput dan akan kembali berkumpul di tempat yang sama saat mereka berpisah tadi. Di hutan yang lumayan lebat ini memang disarankan untuk tidak sendirian demi menghindari hal buruk yang tidak diinginkan.

"Bu, Jan, kumpulkan suluh di sini ya. Mau cari ke dekat kentongan."

"Iya hati-hati. Kalau ada suara atau bau aneh kamu cepat pergi ya. Takutnya ada ular besar," nasihat Ibu. 

Aku mengangguk. Memang benar. Di hutan ini pasti terdapat banyak ular. Tak sekali atau dua kali para warga melihat secara langsung ular yang sedang melingkar di pangkal pohon, di semak-semak, atau di antara bebatuan. Bukan hal yang aneh mengingat banyak tempat lembap di hutan ini. Namun, selama tidak mengganggu atau membahayakan, hewan itu tetap dibiarkan hidup. Bagaimanapun juga, tempat ini bukan milik satu pihak. Alam tentu memiliki rantainya sendiri. Jika tak merugikan tak perlu dibinasakan.

Tanaman putri malu langsung mengatupkan daunnya begitu celana atau sandal yang kupakai tak sengaja menyentuhnya. Sesekali aku berhenti untuk sekadar bermain dengan tanaman itu. Sengaja membuatnya mengatup lalu menunggu kembali mekar. Peka terhadap rangsang, begitu kata guru biologiku saat memberikan materi tentang ciri makhluk hidup dan memberi contoh tanaman putri malu. Memang sangat penting untuk selalu peka terhadap sekitar karena posisi kita sebagai makhluk hidup. Jika acuh pada sekitar dan tak mau peduli, lalu kepedulian seperti apa yang bisa kita harapkan dari orang lain?

"Yang ini 26 ... 27 ... 32 ... 29 ... 30 ... "

Suara itu terus meneriakkan angka-angka yang berkisar dari 25 sampai hampir 50. Aku paham betul dengan suara itu. Mandor Darman. Dia salah satu mandor di sini. Tanganku yang masih asyik mengumpulkan ranting karet terhenti sejenak. Aku mencoba mencari asal suara itu. Sepertinya tak jauh dari tempatku saat ini. Gawat. Aku sedang tidak ingin berpapasan dengan Mandor Darman. Kuputuskan untuk segera menjauh dan beranjak dari suara yang semakin mendekat itu.

"Yah, Jan malah ngelamun." 

Sebuah suara justru mengagetkanku. Pemilik suara itu tersenyum. Segulung kayu bakar sudah ada di tangannya. Aku ikut tersenyum melihat siapa yang membuatku kaget. Mang Oyo namanya. Dia pencari rumput dan kayu bakar yang hampir setiap hari pasti datang ke hutan. Jika tidak pagi ya sore, begitu seterusnya. Kecuali sakit saja dia tak pergi merumput. 

"Mamang ngagetin saja. Sudah dapat banyak suluh, Mang?" tanyaku memastikan. 

Mang Oyo tersenyum lagi sambil membetulkan ikatan kayu bakarnya. Spontan saja aku ikut tersenyum.

Lihat selengkapnya