"Janari."
Langkahku terhenti. Itu bukan suara Ibu. Suara Mang Oyo juga tak begitu. Bukan suara Mandor Darman juga. Aduh kenapa harus suara itu sih. Aku berusaha tidak menoleh. Kupercepat langkah yang tadi terhenti. Rupanya pemilik suara itu adalah orang yang sama yang bersiul tadi.
"Janari," ulang suara itu yang kudengar semakin mendekat.
Kuseret kakiku setengah berlari. Untung pakai celana jadi bisa berjalan lebih cepat, batinku. Aku semakin pura-pura seolah begitu gugup dan tak mendengar jika ada yang memanggilku.
"Janari," ulang suara itu yang ternyata sudah berdiri tepat di belakangku.
Aku berhenti. Hassya sudah berhenti dengan napas yang terengah-engah. Lihatlah. Dia terlalu tinggi untukku yang hanya 150 sentimeter. Kerudung cokelat dan kaos yang kupakai terlihat sedikit basah oleh keringat.
"Hmm. Iya, Has. Kok kamu tahu kalau aku ada di sini?"
"Tadi aku ketemu Mang Oyo. Katanya kamu lagi cari suluh."
Aku tersenyum, persis seperti Mang Oyo jika lawan bicaranya mulai berbicara. Rupanya tadi Mang Oyo berbincang dengan Hassya. Sayang sekali aku tadi tak begitu memperhatikan. Jika saja tadi aku sedikit peka, tentu aku bisa memilih jalan memutar dan tak perlu bertemu dengan Hassya.
"Oh tahu dari Mang Oyo. Tapi aku sudah mau pulang ini. Aku duluan ya, Has."
Aku sudah hampir berbalik ketika Hasya mencoba mencegahku. Aku berusaha mencari alasan lain sebelum pertanyaannya tempo hari kembali terucap. Pembahasan darinya pasti hanya soal itu. Padahal hari ini aku sedang tidak ingin memikirkan tentang ambisi itu. Tentu akan sangat bijak jika aku menghindari obrolan yang akan Hassya mulai.
"Eh, tunggu. Kita ke pemancar yuk, Jan. Alpukat di sana sudah matang-matang. Aku sudah tanya ke Bapak katanya boleh minta. Nanti bilang saja sama petugas di sana. Bapakku kan kenal sama petugasnya."
Pemancar yang dimaksud Hassya tak jauh dari sini. Bahkan aku juga akan melewati jalannya saat pulang nanti. Tadi aku memang sempat melihat bahwa alpukatnya sudah banyak yang matang. Mandor Darman jelas mengenal semua petugas pemancar itu. Tak heran jika Hassya menjadi ikut akrab dnegan beberapa petugas di sana.
"Tapi kayu bakarku? Aku harus pulang bersama Ibu kan?"
Aku masih mencoba berdalih. Pasti Hassya akan menanyakan pertanyaannya kembali. Mencari alasan dadakan bukanlah hal yang mudah karena Hassya dengan santai akan selalu mempunyai jawaban sekadar untuk membuatku tak bisa berdalih. Lgi-lagi pikiranku buntu untuk menolak ajakannya.
"Nanti aku bantu cari di dekat pemancar," tawarnya sekaligus paksaan secara halus. Kami memang suka bermain di dekat pemancar. Pemandangannya tak pernah membuatku bosan. Apalagi saat senja tiba. Matahari serupa bola yang menggelinding secara perlahan. Tenggelam dan meninggalkan pemandangan yang lebih menakjubkan. Momentum indah dari alam yang sering kusaksikan dan tak pernah membuat bosan. Kalau untuk yang satu ini aku jelas tak mau melewatkannya.
"Ya sudah bilang ke Ibu dulu ya. Biar Ibu pulang bersama bibiku."
Ibu sudah selesai memenuhi satu karung dengan rumput segar. Kayu bakarku sudah cukup untuk kugendong. Hassya sudah mengenal Ibu dengan baik. Keluarga Hassya juga mengenal keluargaku dengan baik. Setelah menjelaskan maksudnya, Hassya dan aku segera pergi ke pemancar.
Limas-limas yang kulihat sebagai segitiga dari sekolahku kini terlihat utuh. Besi-besi yang menyusun kerangkanya tampak begitu kokoh. Jika aku mendongak, maka awan-awan seolah berjalan tepat di atas pucuk pemancar ini. Di sebelah gerbang pemancar tadi tertulis dengan jelas "LEMBAGA PENYIARAN PUBLIK TVRI JAWA TENGAH STASIUN TRANSMISI GN. DEPOK SALURAN 30 KABUPATEN BANYUMAS". Pemancar-pemancar ini berjejer dengan jarak beberapa puluh meter antara satu dengan yang lainnya. Aku teringat jika channel TVRI di televisi rumahku tak pernah jelas. Kini aku berada di dekat pemancarnya.
Aku sudah duduk di atas sebuah batu di dekat pemancar yang langsung menghadap ke arah selatan. Tempat ini menenangkan. Embusan angin terasa membelai dengan perlahan. Pemandangan laut biru luas seolah menyatu dengan kaki langit. Selain tempat yang kini sedang kusinggahi, laut menjadi salah satu ciptaan-Nya yang juga sangat kukagumi. Samar terlihat sebuah kepulan asap dari tengah laut itu. Tak ada suara debur ombak karena jaraknya terlalu jauh. Aku tahu saat berada di tempat yang dekat dengan apa yang kemarin terlihat jauh, akan ada tempat jauh yang kembali terlihat.
"Semua boleh punya impian, Jan. Kamu juga sering menyemangatiku bukan? Aku ingin jadi arsitek. Katamu aku bisa kan?"
Aku menoleh. Sahabatku ini sudah tumbuh semakin dewasa. Sejak dulu SD, dia mengalami pertumbuhan yang mengagumkan dalam banyak hal. Aku pun tumbuh. Mendewasa bersama tuntutan hidup. Tubuhku yang mungil, dengan kulit sawo matang, tinggi 150 cm, dan alis tebal ini telah berkawan dengan banyak masalah besar. Tantangan melambungkanku lebih tinggi setiap kali berhasil kulalui. Air mata mampu membuatku melihat warna baru di setiap abu-abu dan gelapnya permasalahan hidup yang sanggup kulewati.
Hassya sudah duduk di batu sebelah. Memang ada dua batu yang seolah menjadi kursi. Dari sini jika kami berteriak, maka suara kami akan menyebar ke mana-mana seolah ikut disiarkan oleh pemancar di belakang kami. Pandangan Hassya mengarah lurus ke depan menatap masa depan dalam gambarannya.
"Iya. Aku sangat yakin kalau kamu bisa jadi arsitek yang hebat, Has. Di dusun kita belum ada arsitek bukan? Kamu akan jadi yang pertama."
Keyakinanku pada kemampuan Hassya memang begitu tinggi. Nilainya bagus. Kemampuan melukisnya juga bagus. Sangat pas karena dia bisa menggabungkan kemampuan berpikir dan melukisnya. Dia tinggi dan juga tampan. Banyak teman sekolah yang suka kepadanya. Beberapa malah curhat kepadaku. Aku selalu melihat banyak kelebihan dari diri Hassya. Kelemahannya? Aku bahkan tak mendapati kekurangan yang berarti dari Hassya, setidaknya begitu pendapatku. Sangat berbeda dengan diriku. Aku mampu melihat banyak kekurangan yang ada padaku.
"Nah, itu kamu yakin kalau aku bisa. Berarti kamu juga yakin kan kalau kamu juga bisa?"
Aku tersenyum. Apa pun nasihat yang kuberikan padanya akan dikembalikan padaku. Dengan fakta dan opini yang diuntainya, Hassya mampu mengolah kata halus untuk menyulut semangat. Dia selalu bisa melakukan hal itu dengan baik. Bahkan jika aku hampir kehilangan keyakinanku akan suatu hal, dia mampu membuatku kembali teguh dan menggenggam apa yang sempat ingin kulepas dan kurelakan. Energi positif darinya seolah menjadi magnet tersendiri.