"Ojek, Mba."
"Tidak, Pak. Terima kasih." Seseorang menolak tawaran tukang ojek ketika baru saja turun dari sebuah bus arah Kroya.
"Naik becak saja, Mba. Mau kemana memangnya?" tawar tukang becak yang di sebelahnya.
"Mau ke pendopo. Saya jalan kaki saja," tolaknya lagi dengan halus.
"Sepuluh ewu tok, Mba."1
"Tidak. Terima kasih, Pak."
Tukang becak dan tukang ojek ramai menyambut penumpang yang baru turun dari bus dengan sumringah. Menawarkan jasa dengan balasan rupiah. Ada keluarga yang harus mereka hidupi dan aku tahu mereka bertanggung jawab penuh akan kebahagiaan mereka. Tak sedikit dari mereka yang memang sudah lanjut usia. Raganya mulai rapuh, tetapi semangat juangnya tetaplah tinggi. Orang-orang kecil dengan impian sederhana. Balada mereka menghiasi percakapan setiap hari di pinggir alun-alun Banyumas. Sesekali suara klakson truk besar membawa candaan mereka bersama aroma mendoan hangat yang tercium hampir dari setiap warung semi permanen di pinggir jalan. Logat ngapak yang akrab di telingaku.
“Ojek ... Ojek ... Ojek ... "
"Mendoan ... Mendoan ... "
Dari alun-alun Banyumas, SMA-ku berada tak jauh ke arah selatan. Kurang lebih empat ratus meter. Tadi aku memilih turun di sini. Pagi hari seperti ini banyak yang memilih untuk berolahraga mengelilingi area yang cukup luas. Dulu alun-alun ini terdiri dari dua bagian dengan sebuah jalan membelah di tengahnya. Sekarang alun-alun ini sudah menyatu menjadi satu area. Dua pohon besar di tengahnya masih kokoh dan menjadi tempat favorit saat siang terasa begitu menyengat.
Di sebelah barat alun-alun ada masjid yang sudah berdiri lama. Bangunannya menjadi salah satu bukti bahwa masjid megah itu sudah ada sejak puluhan tahun lalu. Masjid Agung Nur Sulaiman menjadi tempat banyak kegiatan keagamaan. Istighosah menjelang ujian juga bisa dilakukan di masjid ini. Letaknya yang dekat dengan alun-alun juga membuat banyak pengunjung lebih nyaman saat waktu salat telah tiba.
Di seberang masjid ada sebuah rumah tahanan. Aku tak tahu pasti bagaimana keadaan di dalamnya. Pernah sekali aku membayangkan apa yang ada di balik bangunan yang tertutup rapat itu. Dari depan tampak begitu sepi. Beberapa petugas juga hanya terlihat beberapa kali. Pintu utama bangunan itu sering tertutup rapat. Tak sembarang orang bisa masuk ke dalam meskipun di depannya adalah salah satu tempat nongkrong yang disukai anak-anak sekolah.
Di sebelah utara alun-alun ada sekolah menengah pertama. SMP Negeri 1 Banyumas. Tentu saja dulu aku bersekolah di sana. Di sebelahnya ada kantor kecamatan. Pendopo Si Panji yang sekarang sudah berganti nama menjadi Bale Adipati Mrapat itu sering menjadi pusat kegiatan kecamatan. Kegiatan budaya, pendidikan, atau kesenian sering dilakukan di sana. Selain itu ada Museum Wayang dan Sumur Sendang Mas yang menjadi salah satu objek wisata edukasi dan budaya.
Alun-alun ini jelas menjadi lokasi yang strategis. Dekat dengan puskesmas, rumah sakit, sekolah dari paud sampai SMA dan SMK, toko, tempat ibadah, dan juga pasar. Pasar Banyumas berada tak jauh dari alun-alun. Pagi hari seperti ini ibu-ibu dan pelajar mendominasi angkutan umum. Di dekat pasar bus akan merayap lebih pelan. Rutinitas pagi hari yang selalu ramai.
"Yang Sokaraja, Purwokerto ... ya ya ya ... Bu. Ayo, Bu ... "
Nada bicara khas yang diteriakkan setiap ada calon penumpang. Para kondektur sudah paham dengan gaya calon penumpangnya. Kondektur itu juga sering menyingkat ucapannya.
"Purwokerto ... Yang Kerto ... Kerto ... Kerto ...."
Nanti ketika berputar arah maka akan berubah menjadi,
"Yang Cilacap ... Lacap ... Lacap ... "
Atau,
"Yang Kebumen ... Bumen ... Bumen ... "
Suara penuh semangat demi menjemput rejeki memang terdengar penuh yakin dan harap. Aku terus berjalan. Melewati kantor desa, sekolah teknik mesin, pengadilan negeri, kantor pos, lalu sampai di depan kantor PLN. Aku menoleh sejenak. Kaca hitam yang menutup bagian depan jelas tak bisa membuatku melihat aktivitas para pegawai di dalamnya. Padahal aku sangat penasaran apa saja aktivitas di dalam sana. Sebuah suara peluit membuatku kembali menatap ke seberang. Sekolahku berada tepat di seberang kantor PLN dan bersebelahan dengan Pengadilan Negeri Banyumas.
Pak satpam sibuk mengatur lalu lintas untuk menyeberangkan para siswa SMA Negeri 1 Banyumas. Aku ikut di belakang rombongan siswa yang baru turun dari bus jurusan Kebumen-Purwokerto. Hanya beberapa siswa yang dari kelas dua belas. Selebihnya adik kelasku. Semuanya tentu sudah ramai dnegan pikiran masing-masing entah ulangan harian atau PR yang belum sempat dikerjakan. Hal yang sangat wajar dijumpai di sekolah.
"Janari."
Sebuah suara memanggilku tepat setelah aku menyeberang dan mulai berjalan menuju ruang kelas. Aku tak mengenali suara itu dan mencoba mencari sumbernya. Seseorang berjalan mendekat dari gang kecil di dekat sekolah. Pasti dari kosnya, pikirku. Tapi untuk apa dia memanggilku?
Ternyata yang memanggilku adalah Nandana. Dia adalah teman dekat Hassya. Aku juga mengenalnya dengan cukup baik karena dia tentu saja sering bersama Hassya. Beberapa kali kami juga bermain bersama di rumah Hassya. Nandana tersenyum dan segera berjalan di sebelahku.
"Iya. Kenapa?" tanyaku.
Aku sudah ingin sampai di kelas. Buku-buku yang kubawa hari ini lumayan banyak. Tanganku terasa pegal karena sudah menentengnya sejak dari alun-alun. Percakapan dengan Nandana tentu membuat langkahku menjadi lebih lambat.
"Bukumu. Terima kasih ya."
Nanda menyerahkan sebuah buku tulis biologi yang dari tadi ternyata sudah dipegangnya. Aku hafal betul sampul buku itu karena itu milikku. Kuterima buku itu dengan tatapan heran.