Bel berbunyi seiring dengan kegugupan yang semakin menjadi. Materi ini baru dijelaskan secara kilat. Aku harus susah payah memahaminya sendiri. Teman-teman mengeluhkan hal yang sama. Beberapa pasrah akan hasil ulangan nanti. Beberapa bersikap biasa saja dan merasa santai. Remidi pun tak masalah, pikir mereka. Ulangan harian mendadak memang bukan hal yang asing. Beberapa guru memang suka memberi kejutan dengan mengadakan ulangan harian mendadak. Tujuannya jelas saja agar kami belajar setiap hari. Ulangan harian mendadak setelah ulangan harian di jam pertama tentu membuat tingkat keramaian di otak kami meningkat.
"Silakan tutup buku dan kerjakan soalnya."
Guru kimia langsung membagi soalnya. Tak ada yang berkomentar. Semua sudah menyiapkan diri untuk berjuang atau pasrah dan menyiapkan remidi. Aku langsung berkonsentrasi. Lancar sampai nomor 12. Masih kurang 3 soal lagi. Kuulangi lagi soalnya. Ah, tidak. Ini soal yang sama persis dengan soal yang semalam kulewatkan. Semalam aku tak jadi mengerjakannya. Tadi aku sudah berniat mengerjakan sebelum bel masuk berbunyi. Tapi sayang, aku terlambat mengerjakan soal ini.
Dua jam pelajaran berlangsung sepi. Semua sibuk mengerjakan nomor demi nomor. Saat ulangan dan sebelum ulangan berlangsung, waktu kembali berjalan begitu cepat. Lembar jawabanku masih kosong dua nomor dan waktu tersisa sepuluh menit. Coretanku sudah begitu banyak. Angka dalam soal itu sudah kumasukkan dalam rumus asal buatanku sendiri karena aku lupa dengan rumus yang satu ini. Alhasil tiga rumus buatanku menghasilkan tiga jawaban yang berbeda. Kepalaku pusing memikirkan rumus yang sebenarnya.
Bel pergantian pelajaran sudah berbunyi. Dua nomor sudah berhasil kuisi dengan jawaban yang tak meyakinkan. Rumus asal-asalan dan mengandalkan keberuntungan sepertinya tak banyak membantu hari ini. Tak ada yang bisa diandalkan lagi selain otakku sendiri.
"Silakan dikumpulkan."
Semua mengumpulkan lembar jawaban. Pelajaran khas kelas IPA ini menciptakan berbagai ekspresi berbeda. Aku pun merasa menyesal kenapa harus melewatkan apa yang seharusnya aku telusuri lebih lanjut. Harusnya aku menunda sedikit waktuku untuk tidur untuk mempelajari materi yang memang belum aku kuasai. Ah, penyesalan memang selalu datang terlambat.
Guru BK sudah masuk membuat ekspresi wajah sekelas berubah. Semuanya tersenyum karena guru BK kami memiliki pembawaan yang menyenangkan. Ini adalah salah satu bentuk refreshing pikiran setelah hampir setengah hari berkutat dengan rumus dan angka. Bahkan kami bisa bergurau dengan guru BK, tentu saja dalam batasan yang wajar. Solusi demi solusi diberikan Bapak guru kami. Tak jarang saran dan nasihat juga diberikan demi kebaikan kami.
"Pendaftaran SNMPTN sudah dibuka. Jangan lupa untuk yang ingin mendaftar melalui jalur bidikmisi mengisi form terlebih dahulu. Jika ada kesulitan bisa langsung ditanyakan. Pastikan isi dengan teliti agar tak ada kesalahan."
Pendaftaran SNMPTN sudah resmi dibuka. Jika diibaratkan sebuah perjalanan, maka aku sudah berada di sebuah persimpangan dengan banyak cabang pilihan. Aku harus menentukan langkahku. Nanti jika tiba saatnya pengumuman, maka aku menjumpai sebuah lampu lalu lintas. Berhenti atau terus berjalan ditentukan oleh keputusan nanti saat mendaftar. Hari-hari kemarin aku sudah memantapkan hati. Berdoa di tengah malam dan memohon petunjuk kepada Allah. Aku yang tak mudah berbagi masalah dengan orang lain memilih mengadukan semua keluh kesah pada Tuhanku dan aku berharap tak ada kekecewaan di kemudian hari.
Aku belum tahu pasti kapan akan mendaftar SNMPTN. Ada waktu hampir dua minggu. Teman-temanku sudah ada yang siap mendaftar. Beberapa yang tak memiliki kesempatan memilih belajar untuk mempersiapkan ujian dan seleksi melalui SBMPTN yang akan dibuka pendaftarannya tak lama lagi. Aku memiliki satu kesempatan ini dan akan kugunakan. Entah akan gagal atau berhasil aku percaya itu adalah yang terbaik untukku. Setidaknya aku pernah mencoba kesempatan sekali seumur hidup ini. Aku tak ingin menyesal karena melewatkannya begitu saja. Pikiranku harus kembali fokus pada ujian dan juga persiapan belajar untuk SBMPTN. Jika aku gagal di SNMPTN, setidaknya aku akan mencoba melalui jalur SBMPTN. Apa pun yang terjadi, aku sudah berjanji tidak akan mengutuk takdirku.
***
Aku sedang menunggu Bapak sore itu setelah tambahan pelajaran. Biasanya Bapak yang menungguku. Namun, sejak lembur seminggu yang lalu kini aku harus menunggu Bapak setengah jam lebih lama. Bapak sedang mencari tambahan biaya. Lumayan kalau ikut lembur bisa ada tambahan pemasukan, begitu katanya. Bapak pasti lelah dan aku dapat merasakannya. Tampak jelas dari raut wajahnya dan juga keringat yang menetes di bajunya. Bapak tentu saja tak pernah mengeluh sedikit pun. Huh, aku yang sejatinya berada dalam posisi yang lebih nyaman dari Bapak ternyata masih sering mengeluh.
Tiba-tiba aku tersadar akan sesuatu ketika melihat seseorang membawa kue ulang tahun yang akan dibawa ke dalam sekolah. Sepertinya ada kawan yang sedang berulang tahun. Bingkisan dari Nanda ternyata belum kubuka dan tak menarik perhatianku selama di dalam kelas. Kuletakkan bukuku sejenak. Suara kondektur bus terdengar ramai meneriakkan suara khas penutup hari mengiringi kebingungan dan keherananku pada bingkisan itu. Masih kupandangi bingkisan itu dan belum ada niat membukanya. Aku justru berpikir untuk mengembalikannya tanpa membukanya terlebih dahulu.
"Ayo, Mba. Ini bis terakhir. Masih longgar."
Beberapa siswa langsung bergegas naik.
"Ya geser, Mba. Nanti kalau turun ditunggu," lanjut kondektur bus.
Penumpang-penumpang itu menurut. Menggeser badan dan menciptakan sedikit ruang lagi agar bisa diisi oleh beberapa penumpang lain adalah pemandangan biasa di jam sibuk. Semuanya harus menghadap ke arah yang sama. Jika tidak maka suasana akan menjadi gerah dengan percampuran gas karbondioksida sisa reaksi pernapasan dalam tubuh. Belum lagi ditambah aroma keringat tanda kerja keras hari itu. Sang sopir sibuk kipas-kipas, sang kondektur sibuk menata dan menarik penumpang lain, penumpang-penumpang sibuk bergeser dan berharap bus cepat melaju, dan aku sibuk memperhatikan mereka.
Aku melihat sejenak. Kondektur bus ini memang suka begitu. Mengatakan bahwa masih muat banyak penumpang lagi padahal penumpang sudah penuh sesak. Sore hari seperti ini banyak yang menunggu bus karena memang mulai langka. Apalagi bus jurusan Banjarnegara. Walaupun penuh sesak pasti akan tetap ada penumpang yang naik selama masih bisa masuk di dalam. Pemandangan umum di sore-sore hari. Setelah dirasakan sudah tak muat untuk menampung penumpang lagi, bus kemudian melaju. Asap hitam mengepul dari knalpot. Sang sopir siap mengantar penumpangnya sampai tujuan.
"Apaan tuh, Jan?"
Hassya sudah mengagetkanku. Entah sejak kapan dia sudah duduk di dekatku. Pandangannya tertuju pada tanganku yang tadi belum jadi membuka bingkisan dari Nanda. Sorot matanya menandakan rasa penasaran yang begitu tinggi. Aku menyelidik curiga.
"Nah kebetulan kamu di sini, Has. Mana motormu?"
"Aku tidak bawa motor. Jan, apa itu?" ulangnya.
Aku memutar otak sejenak. Menimbang apakah aku harus memberi tahu jika bingkisan ini dari Nanda atau memilih diam. Kalau aku memilih diam jelas tak mungkin. Hassya tahu jika aku menyembunyikan sesuatu.