Taraka

Siska Ambar
Chapter #7

#7 Rute Pertama

Siluet Gunung Slamet terlihat jelas karena langit berwarna biru cerah. Tak ada awan yang menutupi Gunung Slamet pagi ini. Hari minggu yang ceria. Cocok untuk melepaskan penat setelah seminggu kemarin bekerja atau berkutat dengan buku pelajaran, tugas, PR, dan remidi. Ujian nasional akan berlangsung sekitar satu bulan lagi. Aku harus belajar ekstra. Pagi ini aku sudah siap pergi ke rumah Hassya. Aku ingin menanyakan beberapa materi fisika.

Nanti sepulang dari sana aku akan pergi ke hutan. Hari ini ada kegiatan offroad di hutan. Pasti ramai karena pesertanya lumayan banyak. Bukan sekali dua kali acara offroad dan balap trail dilakukan di hutan. Medan dan jalan yang ada sangat mendukung. Mandor Darman salah satu penggemar offroad dan trail. Di rumahnya saja terdapat dua trail. Satu milik Hassya tentunya. Aku tahu informasi hari ini juga dari Mandor Darman. Setelah membantu Ibu, aku bergegas ke rumah Hassya. Kami sudah berjanji akan menonton offroad dari dekat pemancar. Rumah Hassya berada di tepi hutan. Sekitar satu kilometer dari rumahku. Lumayan dekat meskipun sudah berbeda dusun. 

"Has, kita berangkat sekarang atau belajar dulu?" tanyaku begitu sampai. Mandor Darman sudah berangkat lebih dulu. Beliau tak pernah terlambat dari waktu start

"Tunggu sebentar dulu, Jan. Ada yang perlu kita tunggu. Sebentar ya. Aku mau menyelesaikan pekerjaan di belakang dulu. Kamu tunggu di sini ya."

Aku menurut. Ini memang masih seperempat jam lebih awal dari waktu kami membuat janji bertemu. Aku sengaja datang lebih awal agar bisa berbincang lebih banyak hal. Rumah ini nyaman. Angin dari hutan jelas dengan mudah masuk ke pekarangan rumah Hassya. Ada banyak kursi tamu karena Mandor Darman memang sering menerima tamu. Di sebelah kanan dan kiri rumah terdapat tanaman hias. Aku melihat satu motor trail milik Hassya. Dua buah sepeda gunung juga terlihat mengisi ruangan kecil itu. Sepedaku terparkir di dekat kolam ikan kecil di dekat gerbang masuk. Hassya anak tunggal. Rumah ini jelas terasa sepi jika penghuninya sedang pergi. Berbeda dengan rumahku yang selalu ramai oleh suara kedua adikku. 

"Assalamualaikum."

Sebuah salam membuatku menoleh. Kupikir itu tamu yang ditunggu Hassya. Aku bersiap memanggil Hassya ketika tamu itu justru membuatku terkaget.

"Waalaikumussalam. Hah?"

Nanda kok ada di sini, batinku. Aku langsung menduga kalau Hassya sengaja mengundang Nanda agar ikut acara kami. Surat yang diberikan Nanda sudah kubaca semalam. Ditulis tangan secara berseni. Aku tahu Nanda dan Hassya sama-sama pandai menggambar. Semalaman aku mencoba menerka maksud dari setiap kado yang diberi Nanda. Cermin, mungkin maksudnya adalah agar aku bercermin dan melihat wajahku sebelum berangkat sekolah. Binder untuk menulis jadwal ujian. Jam tangan agar aku tak terlambat dan buku motivasi agar aku tak patah semangat. Itu dugaanku. 

Hadiah dari Hassya adalah dua buah novel best seller dari penulis terkenal. Dia tahu jika aku suka membaca buku. Kedua novel itu berkisah tentang perjuangan. Aku baru membaca beberapa bab. Aku sangat senang menerima hadiah itu. Namun, kedatangan Nanda jelas membuatku bertanya-tanya. Jangan-jangan ada maksud terselubung yang disembunyikan mereka berdua. 

"Eh, Janari sudah di sini. Kata Hassya jam sembilan kita berangkat. Kamu datang jam berapa, Jan?"

Dugaanku benar. Hassya adalah dalang di balik kedatangan Nanda. Ada sedikit rasa canggung tentunya.

Lihat selengkapnya