Persimpangan lagi. Kuarahkan laju sepedaku ke kanan. Jalan ini sangat licin. Daun karet yang kering menambah sulit jalur yang kupilih. Jalur ini mulai berbahaya. Kanan kirinya adalah jurang dan sungai. Jika tak berhati-hati maka akan terpeleset. Kupercepat laju sepedaku. Nanda jelas tertinggal jauh. Pikirku dia akan menuntun sepedanya. Aku kembali tertawa cekikikan. Kurasakan waktu berpihak padaku untuk membalas Hassya. Kurasa Hassya juga masih tertinggal jauh di belakang.
"Jan, kita balapan?"
Nanda membuatku terkaget. Dia tengah mengayuh sepedanya di jalan kecil tepat di sampingku. Kapan dia menyusulku? Bagaimana bisa dia sangat luwes mengendarai sepedanya? Bukankah dia tak pernah datang ke tempat ini? Aku tak menjawab. Kupercepat lagi laju sepedaku. Kini aku dan Nanda saling kejar-mengejar. Kami sesekali tertawa ketika harus menghindari lubang penuh genangan air. Kami sudah berada tepat di tengah hutan. Di hadapan kami dalam jarak kurang lebih lima puluh meter ada sebuah lokasi yang lapang tak ditumbuhi banyak tanaman. Itu adalah tujuan kami. Kejar-kejaran kami semakin menjadi. Aku tak mungkin mau mengalah dari Nanda. Dua puluh meter lagi. Kukayuh dengan kecepatan maksimal dan sretttt ... aku dan Nanda sampai bersamaan dari dua jalan yang berbeda. Hassya menyusul dari jalur yang berbeda pula, lima detik setelah kami.
Kuletakkan sepedaku dan meluruskan kali. Keringat sudah membanjiri bajuku. Ada rasa dongkol yang kembali muncul. Rencana jahilku ternyata tidak terlalu menyusahkan mereka. Yang kupikir awalnya mereka akan kewalahan, ternyata dengan lumayan mudah mereka berdua bisa menyusul dan mengimbangiku. Aku salah perhitungan lagi kali ini.
"Kalian curang. Katanya aku yang di depan. Kenapa kalian malah keluar jalur?"
Aku mencoba menunjukkan kekesalanku. Napas kami terdengar terengah-engah. Hassya sudah tiduran di atas rerumputan. Nanda juga sibuk mengipasi wajahnya. Botol minum yang tadinya terisi penuh sekarang hanya tersisa separuhnya. Aku butuh air untuk menggantiksn cairsn tubuh yang terlah terhidrasi.
"Ditambah buku kalian aku yang bawa. Kalau tahu mau balapan tadi kutinggal saja bukunya. Curang ih," keluhku lagi.
Dua sahabat itu hanya tertawa. Dugaan di awal meleset. Nanda ternyata mampu bersepeda dengan sangat baik. Bahkan di jalur yang kuanggap lumayan sulit, Nanda bisa dengan mudahnya menyusul melalui jalur yang berbeda. Jalan setapak kecil yang belum pernah dilewati sebelumnya oleh Nanda bisa dengan mudah dikuasainya. Kalau Hassya sudah tak kuragukan lagi kemampuannya memilih jalan karena harmpir setiap hari jika libur tiba dia akan melewati jalanan kecil itu sebagai rute trail-nya. Gagal sudah rencanaku untuk mengerjai mereka berdua. Yang ada malah aku yang kewalahan sendiri.
"Nanda tidak nyungsep kan, Jan? Janari itu takut kalau kamu nyungsep, Nan," ucap Hassya tanpa rasa bersalah. Wajahku pasti sudah memerah. Kualihkan dengan berdiri dan memandang ke arah tanaman putri malu yang banyak berbunga.
"Oh iya? Aku juga tidak menyangka bisa balapan seperti tadi. Nanti kapan-kapan kita ulang lagi ya," sahut Nanda.
Aku tak menjawab. Seru sih tapi kan aku terlanjur malu. Kami menjelma menjadi pembalap dadakan dalam rute dadakan pula. Walaupun tak ada pemenang karena aku dan Nanda sampai bersamaan, tetap saja bagiku ini tidak adil.
"Nanda itu anak pecinta alam, Jan. Dia suka mendaki gunung. Wajar saja jika rute yang kamu pilih tadi sangat mudah dilaluinya. Kamu sih harusnya pilih rute dekat sungai tadi. Pasti kamu mau mengerjai kami kan?" Hassya menambahi sambil tertawa.
Aku menoleh ke arah Hassya yang ternyata bisa menebak rencanaku. Yang membuatku heran adalah Nanda ternyata anak pecinta alam dan suka mendaki. Setahuku dia tak ikut organisasi pecinta alam di sekolah. Dia juga termasuk tipe orang yang pendiam.
"Kamu suka mendaki, Nan?" tanyaku akhirnya karena kalah oleh rasa penasaran. Lagian Hassya ternyata sudah tahu rencanaku sejak awal tadi. Percuma saja mengelak dari tuduhanya yang memang benar.
"Iya. Kamu sudah pernah mendaki belum? Kalau belum kapan-kapan kita bisa mendaki Gunung Slamet bareng."
"Wah, serius? Aku bahkan belum pernah mendaki sama sekali. Kamu sudah mendaku gunung mana saja, Nan?" tanyaku berusaha mencairkan suasana dan menghilangkan rasa canggung yang ada.
"Mmm, lumayan sih. Sumbing, Sindoro, Prau, Slamet juga pernah sih. Makanya aku pengin mendaki Gunung Slamet lagi."
Aku melanjutkan obrolan sementara Hassya masih asyik tiduran di atas rumput sembari menyimak dan beberapa kali menyambung pembicaraan kami.
"Lalu kenapa kamu tidak ikut organisasi pecinta alam di sekolah?" tanyaku lagi.
"Dia sibuk, Jan," sahut Hassya.
"Aku mau fokus belajar dulu sampai ujian, Jan."
"Oh," jawabku singkat.
"Kalau kamu mau, kapan-kapan kita bisa mendaki Gunung Slamet, Jan," tawar Nanda.