Taraka

Siska Ambar
Chapter #10

#10 Pernah Menjadi Juara

Tiga jam pelajaran matematika hari ini harus kosong karena guru kami ada keperluan. Tugas jelas sudah disiapkan dan dititipkan di kelas sebelah. Tadi ketua kelas XII IPA 3 masuk ke kelas kami untuk menyampaikan tugasnya. Sontak beberapa siswa melonjak kegirangan karena bisa memiliki waktu untuk bersantai. Karena suasana di kelas begitu gaduh, aku dan beberapa teman memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Lumayan karena selain tempatnya nyaman kami juga bisa serius dalam mengerjakan. Ada banyak buku yang bisa kami jadikan sumber belajar.

Lagi-lagi tugas kami adalah materi integral yang sudah membuatku pusing beberapa waktu lalu. Memahami rumus matematika harus perlahan dan mengerti konsepnya terlebih dahulu. Setelah paham konsepnya, maka kita dapat memahami bentuk lain dari penjabarannya. Rumus yang sederhana bisa berubah menjadi rumit meskipun ujungnya tetap menggunakan rumus awal itu. Kami harus mengotak-atiknya sendiri agar tak mudah lupa. Namun sayangnya, aku sering kesulitan melihat bentuk sederhana dari rumus sulit yang tertulis di nomor-nomor tugas itu.

AC di ruang perpustakaan ini mampu mendinginkan sampai ke pojok rak. Tiga dikali empat puluh lima menit cukup untuk mengerjakan dua puluh soal. Sama seperti pelajaran yang lainnya. Nanti setelah bel berbunyi maka kertas jawaban sudah harus tertumpuk di meja kantor. Jika tidak maka kami akan mendapat tugas tambahan. Lagi-lagi trik jitu agar kami tak mangkir dari kewajiban dan tidak melarikan diri ke kantin atau bermain basket. Waktu yang ada harus benar-benar dimanfaatkan, begitu kata guru kami. Akan tetapi terkadang kami juga mengerjakannya bersama-sama sehingga selesai dalam waktu cepat. Sisa waktunya kami gunakan untuk ke kantin atau ke perpustakaan. Jika sedang malas maka aku akan ikut bersantai di kantin atau di balai siswa.

Kali ini kami belum bisa bersantai. Kami masih asyik berdiskusi mengerjakan setiap soal. Pak Roni, penjaga perpustakaan, sibuk mencatat data buku-buku pinjaman. Beliau adalah orang yang ramah. Beliau juga sudah hafal dengan rombonganku. Jika dilihat, usianya tak jauh beda dengan Bapak. Jika dulu Bapak melanjutkan sekolah sampai tinggi, tentu Bapak bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik. Mungkin Bapak bisa bekerja di ruangan ber-AC, tidak kepanasan dan tidak kehujanan. Tempat bekerja Bapak memiliki AC alami langsung dari alam. Berpayung langit biru dan berpijak di atas tanah secara langsung. Namun, Bapak tak pernah mengeluh. Selalu ada rasa syukur terucap atas semua nikmat yang bisa Bapak peroleh.

Bapak sering bercerita jika teman-teman di tempat kerjanya malah memiliki tanggungan yang lebih banyak. Cicilan sepeda motor anaknya, cicilan bulanan bank istrinya, juga kebutuhan paket data anak dan istrinya. Bapak sering bercerita hal itu saat selesai makan malam. Aku tak mempunyai ponsel yang canggih. Hanya cukup untuk berkirim pesan dan telepon biasa. Tak ada aplikasi WhatsApp. Oleh karena itu Bapak tak memikirkan biaya untuk membeli paket data. Selama ini aku tak terlalu banyak berkomunikasi via ponsel. Bahkan tak jarang aku tak kebagian kisi-kisi ulangan yang didapatkan dari kelas lain karena dibagikan di dalam grup WhatsApp

"Mba Janari."

Dua adik kelas menghampiriku dan temanku yang masih sibuk mengerjakan soal nomor 15. Aku langsung kembali pada kesadaran saat ini. Bayangan cerita Bapak sirna ketika dua siswa perempuan itu sudah duduk di dekatku. Aku tahu sekilas tentang mereka. Beberapa adik kelas kukenal karena tergabung dalam tim lomba sewaktu kelas sebelas tahun lalu.

"Iya, Dek. Ada yang bisa dibantu?"

"Iya, Mba. Kami mau tanya-tanya tentang LCC 4 Pilar."

Lihat selengkapnya