Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Hari ini aku sudah siap untuk mendaftar SNMPTN. Mau ditunda terus waktunya juga akan habis. Setelah mempertimbangkan dengan matang, aku siap dengan resiko apa pun. Meskipun ada sedikit perasaan cemas, tapi aku sudah membulatkan tekad. Kesempatan sekali seumur hidup ini harus kugunakan walaupun nantinya harus berujung pada kenyataan pahit. Aku yakin.
Aku sudah memberi tahu Bapak bahwa sore ini aku akan menunggu di warnet. Letaknya ada di dekat alun-alun. Aku mempunyai waktu sore ini. Langit juga terlihat cerah. Tak perlu khawatir hujan akan turun. Semoga menjadi pertanda bahwa langkahku ke depan akan secerah ini dan tak ada ragu yang bergelayut lagi. Dari ribuan doa yang kulantunkan, aku tetap berharap mendapat yang terbaik. Tuhan tak pernah salah mengabulkan dan memberi yang terbaik untuk setiap makhluk-Nya dan aku sangat percaya hal itu. Walaupun di beberapa kenyataan, harus ada keluasan hati dalam menerima perwujudan impian yang tak sesuai dengan sketsa awal.
"Janari."
Suara itu lagi. Aku sekarang sudah paham dengan suara Nanda. Dia memanggilku dari dalam kelasnya yang sebagian besar sudah kosong. Aku berhenti sejenak. Sejak resmi menjadi sahabatku dan Hassya, Nanda sering ikut belajar bersama kami. Tak sulit untuk akrab dengannya karena ternyata dia memiliki pribadi yang menyenangkan. Tak jarang pula kami saling meminjam buku pelajaran.
"Mau pulang ya?" tanyanya. Dia juga sudah bersiap pulang.
"Iya mau mampir dulu. Kamu mau pulang sekarang, Nan?"
"Iya. Mau mampir ke mana?"
Aku tak mau memberi tahu Nanda. Persahabatan kami cepat sekali menjadi akrab. Seperti Hassya, Nanda bisa membaca gelagat aneh yang kutunjukkan. Alhasil aku tak bisa sembarangan berkilah untuk mengelak. Jangankan untuk berbohong, berkelit atas suatu pertanyaan saja sudah bisa terbaca dengan jelas. Sangat sulit menyembunyikan kebenaran di antara dua sahabatku itu.
"Kalau mau daftar SNMPTN pakai laptopku saja yuk. Kita isi di balai siswa," lanjutnya sembari menawarkan bantuan seolah membaca pikiranku. Tebakannya juga tak meleset.
"Terima kasih ya, Nan. Aku mau daftar di warnet saja. Aku sudah bilang sama Bapak nanti dijemput di warnet, Nan. Eh, Hassya ke mana?"
"Hassya bilang tadi ada kepnetingan. Dia langsung pulang setelah bel berbunyi. Apa dia tak memberitahumu?"
"Tidak. Mungkin ada hal penting yang harus dikerjakannya," jawabku.
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Aku tak mau merepotkan Nanda. Lagi pula aku akan merasa tidak nyaman jika harus mendaftar ditemani Nanda. Untuk urusan yang satu ini aku tidak ingin ditemani oleh siapa pun. Aku ingin leluasa menentukan pilihanku yang mungkin saja berubah di detik-detik terakhirnya. Setelah meyakinkan bahwa aku akan mendaftar di warnet saja, Nanda tak lagi memaksaku. Namun, dia mengantarku sampai warnet. Rumahnya tak jauh dari alun-alun. Dengan alasan satu arah, maka Nanda berhasil membuatku tak menolak tawaran keduanya.
Warnet ini masih sama letaknya. Hanya saja ada penambahan beberapa komputer baru. Sejak SMP aku selalu mengerjakan tugas di sini jika disuruh mencari dari internet. Sama aeperti penjaga perpustakaan sekolah yang sudah hafal denganku, pemilik warnet ini juga sudah hafal pula denganku. Jika dihitung, hampir setiap minggu aku mengerjakan tugas di sini sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, suasana sore ini terasa begitu berbeda. Aku datang bukan untuk mencari jawaban soal atau mengerjakan tugas online. Aku datang untuk sebuah hal besar dalam hidupku. Ya, bagiku ini adalah hal luar biasa. Ini adalah anugerah. Kesempatan mendaftar kuliah melalui jalur SNMPTN adalah karunia untukku, yang bukan siapa-siapa.
Layar komputer mulai memunculkan halaman sesuai kata kunci yang kuketik di papan keyboard. Aku sudah meminta doa restu dari Bapak dan Ibu. Aku meminta doa terbaik dari mereka. Tentu saja aku melibatkan Bapak dan Ibu demi kelancaran usahaku. Aku berharap jika salah satu dari ribuan doa yang kami minta bisa terkabul sesuai renacnaku. Mungkin saja salah satu doa Ibu atau Bapak yang akan terkabul nantinya.