Taraka

Siska Ambar
Chapter #12

#12 Tepuk Tangan untuk Merpati

Sejak aku resmi mendaftar, aku sering merenung ketika mengingat kapan jadwal pengumuman. Untung pikiranku teralihkan dengan jadwal ujian nasional yang juga tinggal menghitung hari. Selesai ujian selang sekitar hampir satu bulan pengumuman SNMPTN baru akan diumumkan. Aku harus kembali fokus pada ujian nasional terlebih dahulu. Namun, tetap saja kadang pikiran dan konsentrasiku terbagi. Ujian tertulis dan ujian yang nyata memang sama-sama tak mudah ditebak. Terkadang apa yang kurasa begitu berat nyatanya pada akhirnya tetap bisa kulalui.

Hujan sudah jarang turun di pertengahan bulan Maret tahun 2016 ini. Hanya sesekali mendung berubah menjadi gerimis kecil yang tak terlalu lama. Hanya membasahi jalanan dan menyisakan aroma petrikor di antara jejak titik air. Dengan demikian aku tak lagi memakai seragam basah lantaran kehujanan. Semua terus berjalan. Siklus alam terus berlanjut seiring siklus hidup yang terus berjalan pula. Beberapa bunga mulai bermekaran sementara beberapa yang lain mulai layu dan mati. Yang hilang tergantikan dengan yang lainnya tumbuh.

Ada yang berubah karena faktor alam. Ada pula yang berubah karena faktor kemajuan pemikiran. Namun, ada pula yang tak berubah meskipun hal-hal di sekelilingnya telah berubah. Contohnya adalah cinta. Cinta orang tua kepada anaknya tak akan berkurang meskipun ada kesalahan atau kegagalan anaknya dalam meraih sesuatu. Benar adanya jika kasih sayang orang tua tak akan mampu diukur atau digambarkan dengan kata-kata. Bahkan pengorbanan dan perjuangan mereka tak akan mampu dibalas seutuhnya dan aku sangat paham akan hal itu.

Aku merasakan Bapak dan Ibu sering menguatkanku. Tak pernah ada raut keraguan untuk memulai hari meskipun hari kemarin ada banyak masalah yang belum terselesaikan. Pantang bagi mereka untuk terlihat lemah di hadapan anak-anak. Adik-adikku juga menjadi alasan kuatku agar tak terlihat lemah di depan mereka. Aku tak pernah menunjukkan kesedihan atau kebimbanganku di hadapan mereka. Pantang bagiku untuk terlihat lemah meskipun saat sendiri aku terkadang menjadi sangat rapuh, sama seperti yang dicontohkan Bapak dan Ibu.

Sore ini Bapak mengajakku mampir ke pasar Banyumas terlebih dahulu sebelum akhirnya pulang ke rumah. Sabit milik Ibu sudah harus diganti. Kami berharap masih ada pedagang yang menjual sabit karena hari sudah lumayan sore. Beberapa kios sudah tutup. Deretan kios toko emas juga sudah rapi tergembok. Ibu pasti akan membelikan kami perhiasan saat memiliki uang lebih. Toko emas tempat kami biasa membeli perhiasan kecil juga sudah tutup. Biasanya toko emas itu ramai ketika tanggal muda atau di penghujung bulan. Sekadar tukar tambah perhiasan baru atau langsung ditukar dengan lembaran uang. Tak jarang ada yang membeli emas sebagai bentuk persaingan dengan tetangga. Hal yang lumrah dan memang banyak dijumpai. Persaingan materi kini bukan hal yang ditutup-tutupi. Semakin besar rasa gengsi, semakin panas pula atmosfer persaingan yang muncul. Untuk orang-orang sepertiku, gengsi tentu saja tak bisa kujadikan raja atau aku akan menjadi budak persaingan tanpa ujung.

Pasar Banyumas di sore hari tak telalu ramai. Euforia tentu saja begitu terasa dari mulai dini hari sampai menjelang tengah hari. Semuanya masih segar, sesegar harapan menjemput rezeki di hari itu. Hanya tersisa beberapa kios yang masih buka. Itu pun sudah mulai persiapan tutup. Sisa sampah masih ada yang belum diambil menjadi salah satu tanda jika aktivitas jual beli memang sudah cukup untuk hari itu. Karena belum direnovasi, beberapa sudut terlihat lebih kumuh. Beruntung sore ini tak hujan. Jika hujan turun, sudah pasti akan ada banyak genangan air di beberapa tempat. Kesan kumuh tentu membuat rasa tak ingin berlama-lama diantara genangan air yang pastinya bercampur dengan berbagai aroma.

Jika pasar tradisional ini mulai lengang dan hampir tutup, berbeda dengan pemandangan di seberang pasar. Swalayan di seberang jalan itu belum menampakkan tanda-tanda akan tutup. Masih sekitar beberapa jam lagi baru akan tutup. Tampak perbedaan yang begitu jelas. Di sana ruangannya bersih, berbeda dengan pasar yang memiliki banyak gabungan aroma. Banyak sepeda motor terparkir. Artinya sore ini sudah mulai banyak pengunjung. Apa yang kami cari tak tersedia di swalayan itu. Bapak tak akan mengajakku mampir ke sana. Bisa dihitung dengan jari kapan kami pergi ke sana. Menjelang Lebaran mungkin menjadi waktu yang tepat untuk mencari pengisi meja. Itu tebakanku.

Kami terus berjalan mencari penjual sabit. Biasanya ada di dekat pintu masuk sebelah kiri bersebelahan dengan warung soto. Benar saja tebakanku. Aku ingat betul ketika beberapa waktu lalu Bapak membeli sabit di sini dan mengatakan jika kualitasnya bagus. Tentu saja hal itu menjadi alasan yang kuat untuk kembali membeli sabit di tempat itu. Kepuasan pelanggan memang sangat penting dalam berbisnis. Penjual yang Bapak cari masih ada di sana. Dagangan yang digelarnya di atas meja belum ingin dibereskan. Sepertinya beliau memang sengaja ingin tutup lebih sore dibanding pedagang lain. Atau ini adalah kebetulan untuk Bapak. Seorang bapak tua, lebih tua dari Bapak, mulai menawarkan berbagai dagangan. Dengan gaya bicara yang ramah dan akrab tentu penjual itu mengharap untung tambahan untuk hari itu. Bapak dan penjual itu terlibat dalam tawar-menawar.

Aku mengamati perawakan penjual itu. Mungkin seusia dengan pakdeku. Rasa lelah terlihat dari wajahnya. Botol besar berisi air teh di sebelahnya sudah hampir habis. Sebuah nasi bungkus juga terlihat sudah tak ada isinya. Untuk rasa lelah sepanjang hari, energi dari bekal yang dibawa penjual itu tentu diharapkan mampu menjadi salah satu penawarnya. Dari pembawaannya, sepertinya beliau penjual yang ramah. Tak ada perdebatan sengit soal harga sabit yang Bapak inginkan. Beliau bukan tipe penjual yang jutek dan terlalu menekan harga di penghujung jualannya hari ini. Setidaknya itu penilaianku.

"Harganya pas, Pak." Penjual itu tampak mulai menyiapkan koran untuk membungkus sabitnya.

"Tidak bisa kurang, Pak?" Bapak masih mencoba menawar sembari mengamati sabit itu. Bapak terlihat cocok dan tertarik dengan sabit yang dipegangnya.

"Itu sudah murah, Pak. Kualitasnya juga bagus."

Lihat selengkapnya