Malam ini bulan terlihat begitu indah. Lingkaran sempurna dengan bintang-bintang bertabur menghias langit malam. Saudara sepupuku masih bermain di rumahku. Maklum karena rumah kami jaraknya tidak jauh. Tinggal teriak maka kami sudah bisa memanggil penghuni rumah. Tinggal berlari beberapa detik kami sudah sampai di rumah lagi. Tujuh cucu telah membuat api unggun kecil. Suasana seperti ini memang cocok untuk membuat api unggun. Apalagi tadi kami juga membakar beberapa singkong dan ubi. Karena aku yang paling tua, aku lebih banyak mengalah pada mereka. Keseruan ini mampu menjadi salah satu hal yang patut kami syukuri. Tak jarang ada banyak ketidaknyamanan yang muncul di antara sesama saudara. Sangat disayangkan jika kami yang memiliki kesempatan bisa berkumpul dengan riang melewatkannya. Aku yakin suatu saat nanti hal-hal seperti ini akan menjadi momen yang kami rindukan.
Besok hari libur jadi kami semua bisa bermain sampai malam. Paman dan bibiku bahkan ikut bergabung bersama kami. Mumpung tidak hujan dan tidak ada acara, kata mereka. Para orang tua tentu mendapatkan kebahagiaan lebih ketika melihat anak-anaknya rukun dan saling menyayangi. Obrolan-obrolan ringan bisa menjadi pelipur bagi raga yang seharian dipeluk lelah.
Setelah menghabiskan dua potong singkong bakar, aku memilih menepi sejenak. Tadi setelah membongkar tas berisi dokumen-dokumen penting, aku menemukan apa yang aku cari. Dua lembar kertas yang sudah di laminating. Berkatnya dokumen itu masih bisa dibaca dengan jelas dan tak habis termakan usia. Bahkan rayap tak menggerogotinya. Dokumen ini bisa menjadi kenangan juga pembuka memori. Malam ini aku ingin melihatnya lagi, memastikan bahwa nama yang tercantum di sana adalah benar nama yang kukenal.
Ada dua foto berukuran 4x6 yang tertempel. Cap tiga jari juga mengenai sebagian kecil foto tersebut. Ini ijazah asli Bapak dan Ibu. Bukti yang didapatkan setelah menyelesaikan pendidikan di bangku sekolah dasar. Jika diamati, wajah Ibu dan wajahku sangat mirip. Mungkin dulu waktu kecil Ibu begitu ceria. Wajah Bapak juga terlihat lucu. Rambutnya tampak disisir sedikit rapi. Dasi merah yang digunakan, yang kata Ibu harus bergantian untuk murid satu kelas, juga terpasang lumayan rapi. Pasti masa-masa itu penuh dengan kebahagiaan meski ada kerja keras yang sudah harus dipikul sejak muda. Tak sekali atau dua kali kudengar cerita dari Ibu jika sejak kecil beliau sudah terbiasa membantu kakek dan nenek entah di kebun atau di rumah.
Dua wajah itu memandang dengan tatapan yang tak dapat kuartikan. Mungkin mereka juga tak sadar jika beberapa tahun kemudian takdir kembali menyatukan mereka bukan hanya sebagai teman sekolah lagi, melainkan sebagai teman hidup. Takdir juga yang membuat mereka harus memiliki tatapan yang sama ke depan, ke arah masa depan anak-anaknya. Bisa jadi Bapak dan Ibu tak pernah menyangka jika perjalanan panjang di dunia ini harus dilewati dengan langkah yang saling membersamai. Namun, bagian dari takdir yang diharapkan begitu indah nyatanya menyatukan mereka berdua. Tegar dan tangguh sebab berbagai badai telah bisa dilalui bersama.
Di bawah sinar rembulan ini aku dapat melihat dengan jelas angka-angka yang tertulis dalam ijazah Bapak dan Ibu. Khas tulisan tangan zaman dahulu yang pasti ditulis dengan begitu teliti dan hati-hati. Pantang ada kesalahan saat menulisnya. Meskipun hanya selembar kertas, isinya harus sempurna tanpa ada coretan yang keliru sedikit pun.
"Bapak terlalu jahil," kata Ibu saat menceritakan masa kecilnya dulu. Karena bertetangga, Bapak tentu saja sering main bersama Ibu. Siapa sangka jika jodoh Bapak sudah begitu dekat di depan mata sejak kecil. Ah, perjalanan menemukan tambatan hati kerap kali berliku dan panjang, tetapi berujung pada seseorang yang ternyata ada di dekat kita. Cinta selalu memiliki misterinya sendiri. Selalu ada cerita perjalanan menemukan cinta. Sepintas terpikir siapa jodohku. Apakah seseorang yang sudah kutemui atau justru seseorang yang sama sekali tak pernah tergambar dalam bayanganku. Semoga saja tak ada luka dalam perjalanan menemukan tambatan hati kelak.
"Bukan jahil, Bu. Bapak kan cuma minta kertas satu lembar. Karena tidak ada yang kosong ya sudah Bapak hapus tulisan yang sudah ada," sahut Bapak mencoba membela diri.
Kami yang mendengarnya sontak tertawa. Percakapan itu pernah terjadi ketika aku bertanya bagaimana sikap Bapak ketika di sekolah. Jahil luar biasa, itu menurut Ibu. Hanya iseng, itu menurut Bapak. Bapak selalu memiliki pembelaan atas tuduhan Ibu. Menurut Ibu, dulu Bapak adalah teman yang luar biasa nakal. Mungkin juga Ibu tak pernah menduga jika orang yang begitu nakal padanya justru menjadi pelengkap hidupnya. Bukankah sebuah kejutan yang sangat tak tertebak? Namun, kata Ibu, Bapak juga pernah menjadi juara. Aku terkaget. Bapak pernah menjadi juara lomba catur. Hadiahnya makan enak dan seragam baru. Bapak sangat bersemangat waktu menceritakan hal itu. Kebanggaan tersendiri bagi Bapak. Entah dari mana Bapak belajar catur, kenangan itu menjadi salah satu yang indah untuk diingat dan diceritakan.
Namun, di lain waktu Bapak juga pernah mengungkapkan penyesalannya. Penyesalan memang selalu berada di akhir. Juga tak tertebak, tetapi sangat ingin ditolak jika saja waktu bisa diulang kembali.
"Coba saja Bapak sekolah tinggi."
Kalimat itu kudengar saat kami berada dalam kondisi ekonomi yang tidak baik. Bapak mengucapkannya dengan raut wajah sedih. Saat harga-harga mengalami kenaikan sementara upah bekerja tak kunjung meningkat. Biasanya Bapak akan mengaitkan dengan cerita kelahiranku di zaman krisis moneter. Saat itu benar-benar parah kondisi perekonomian. Oleh karenanya temanku diberi nama Krismon, terinspirasi dari krisis moneter. Bagian dari kenangan yang sebenarnya tak ingin diingat. Namun, bagaimana pun juga tak akan dapat dihapus. Aku sedikit menghela napas. Kesalahan memilih sering kali berujung penyesalan. Semoga saja aku tak pernah mengutuk diriku sendiri di masa depan atas hasil yang kudapat dari pilihanku.
Nasi sudah menjadi bubur. Bapak hanya mampu bersekolah sampai lulus sekolah dasar. Kata pengandaian yang diucapkan tak akan mampu mengubah sesuatu di masa lalu. Karenanya Bapak dan Ibu ingin agar anak-anaknya bisa bersekolah sampai tinggi. Harapannya satu. Masa depan kami bisa lebih baik dari mereka. Tak ada yang diinginkan selain kami bisa mendapatkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan. Jika saja doaku tak mampu terkabul, kuharap doa orang tuaku ini bisa terkabul. Kehidupan yang tak mudah sudah kami rasakan. Perubahan di masa depan tentu sangat kami usahakan demi masa tua Bapak dan Ibu yang bahagia pula.