Pagi ini cuaca begitu cerah. Aku sengaja berangkat lebih awal ke hutan untuk mencari kayu bakar. Ibu juga setuju untuk berangkat ngarit lebih pagi. Nanti kami bisa pulang lebih awal pula sehingga tak terlalu panas. Sebenarnya aku ada niatan lain berangkat lebih awal. Aku akan pergi ke tempat favorit di dekat pemancar. Mumpung masih pagi dan belum banyak orang ngarit. Tidak ada yang boleh tahu apa yang akan kulakukan nanti. Ini misi rahasia. Bahkan Hassya tak boleh tahu. Rencanaku berubah semalam. Tadinya aku ingin melibatkan Hassya dalam urusan ini. Namun, setelah kupikir ulang sepertinya tak perlu melibatkan Hassya. Dia bisa saja keceplosan dan membuat rahasiaku tersebar. Jangan sampai Nanda tahu hal ini dari Hassya.
Setelah berjalan melewati beberapa pemancar, akhirnya aku sampai. Tempat yang kumaksud adalah tempat di mana aku menyimpan sebuah kotak kecil yang tak terlihat. Kotak-kotak itu adalah kotak rahasia milikku dan milik Hassya. Bedanya kami meletakannya di tempat yang berbeda. Sebenarnya kami tahu di mana letak kotak rahasia masing-masing. Namun, kami tak pernah lancang membuka kotak tanpa persetujuan pemiliknya. Kami mengubur kotak kecil ini di dalam tanah yang sedikit kami gali. Dua kotak ini didapatkan Hassya saat pergi ke sebuah toko saat berlibur ke luar kota. Karena bentuknya yang lucu, Hassya membelikan satu untukku. Tentu saja aku senang karena Hassya mengingatku saat dia akan membelinya. Aku juga suka dengan desain kotak itu.
Kugali sedikit tanah yang menutupi kotakku. Hanya perlu menggali beberapa sentimeter, kotak berwarna kuning terlihat. Aku juga membungkus kotak itu dengan plastik bening sehingga bisa tetap terlihat warna kotaknya saat digali. Jariku sudah kotor terkena tanah. Karena ini masih pagi, embun jelas masih membasahi tanah ini. Tak apa, yang penting aku bisa segera meletakkan apa yang harus kurahasiakan. Sepanjang perjalanan menuju kotak ini aku merasa senang karena bisa meluapkan satu kegelisahan yang sejak beberapa hari mengikutiku.
Setelah menggali beberapa detik, kotak itu sudah berada dalam genggamanku. Sebuah kotak kecil berbentuk kubus dengan ukuran setiap sisinya 10 cm. Aku meletakkan kotak ini sekitar satu tahun yang lalu. Ada sebuah kunci kecil yang juga tadi kubawa. Kotak ini memang memiliki kunci. Jadi tak sembarangan orang bisa membukanya dan melihat isinya kecuali jika sengaja merusak kotaknya. Kotak kuning itu terbuka. Isinya adalah beberapa surat, sebuah kalung, dan gelang. Dulu ketika aku merasa begitu kebingungan dan tak mempunyai teman untuk berbagi cerita, aku memutuskan untuk menulis kebimbanganku dan meletakannya di kotak ini.
Aku duduk sejenak dan memastikan tidak ada yang melihatku. Aku tak mau orang lain mengetahui keberadaan kotak ini. Kukeluarkan surat dari dalam saku celanaku. Ini adalah surat keempat yang kutulis. Artinya sejak setahun yang lalu, ada empat kebimbangan luar biasa yang kurasakan. Semuanya kutulis dalam kertas berwarna abu-abu. Kebimbangan keempatku adalah kegelisahan dalam menunggu hasil pengumuman nanti. Surat ini kutulis untukku sendiri. Kebimbangan demi kebimbangan yang pernah kutulis terlihat masih terlipat sempurna. Semuanya kusimpan dalam plastik bening juga. Aku mencoba mencegah air atau tanah merusaknya. Hasilnya lumayan memuaskan.
Memori setiap barang di dalam kotak itu kembali terkenang. Sebuah kalung liontin kudapat sebagai wujud persahabatanku dengan Hassya. Dulu dia memberikannya terlebih dahulu. Saat itu kami masih duduk di bangku SMP. Karena merasa tak enak hati, aku mencari benda sebagai balasan pemberian Hassya. Sebuah gelang akhirnya kuberikan pada Hassya sebagai tanda persahabatan kami. Aku membuatnya sendiri. Kubuat gelang itu dari benang rajut. Aku juga membuat untuk diriku sendiri dengan warna yang sama. Tak terasa persahabatan kami sudah terjalin beberapa tahun meski beberapa kali dihiasi kesalahpahaman khas anak remaja. Namun, Hassya terus menjadi sahabat terbaikku sampai saat ini. Hal-hal penting dan berkesan inilah yang benar-benar kusimpan di kotak ini. Setelah memastikan surat keempatku aman, aku segera menutup kotak ini. Kuletakkan lagi kotak itu ke tempat yang sama dan segera menutupnya dengan tanah.
"Aman," kataku sambil tersenyum dan mencoba membersihkan tanganku dari sisa tanah yang menempel.
"Apanya yang aman?"
Aku berbalik dan terkaget mendapati Hassya sudah berdiri di belakangku dengan wajah masam. Jaket tebalnya bahkan masih melekat. Itu artinya dia belum mandi, mungkin begitu. Tapi kenapa dia bisa berada di sini sekarang? Jangan-jangan dia sudah berada di sana dalam waktu yang lama dan mengetahui aku telah memasukkan surat ke dalam kotak milikku. Tapi aku juga tak mendengar ada deru motor trail milik Hassya jadi aku tak menyadari ada kehadirannya di sini.
"Eh, sejak kapan kamu di sini, Has?" tanyaku gugup.
Hassya tak menjawab. Dia malah duduk ke tempat miliknya, sebuah batu yang sama seperti hari lalu. Aku tak bertanya lagi padanya. Aku justru sibuk memastikan kotak rahasiaku sudah terkubur dengan rapi dan tak meninggalkan jejak. Jika terlihat bisa bahaya nanti. Apalagi jika diambil oleh sembarang orang. Hassya juga pasti akan curiga melihat bekas galian di kotak milikku. Lebih tepatnya dia pasti penasaran dengan benda apa yang baru saja kumasukkan ke dalam kotak. Namun, aku berharap Hassya memang baru sampai dan tak mengetahui apa yang baru saja kulakukan.
Kuamati Hassya sejenak. Ada yang berbeda pagi ini. Dia terlihat tak begitu bersemangat. Biasanya dia akan mencecarku dengan berbagai pertanyaan terlebih mendapatiku di sini pada waktu yang tak biasa. Namun, dia tak melakukannya. Sikapnya begitu aneh. Aku dapat merasakannya karena sudah terbiasa bermain bersamanya selama beberapa tahun. Gelagat aneh ini menunjukkan ada sesuatu yang tidak beres. Tentu saja hal ini menarik perhatianku.
"Kamu kenapa, Has? Apa ada masalah?" tanyaku mencoba memastikan bahwa Hassya baik-baik saja.
Hassya tak menjawab. Aku menjadi menebak alasan sikap aneh Hassya pagi ini. Ini benar-benar aneh. Hassya tak pernah bersikap seperti ini sebelumnya. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Wajah kumal dan kesal serta penampilan yang tidak tapi bukanlah ciri khas Hassya. Dia selalu mandi dan berpakaian rapi bahkan saat akan pergi ke hutan. Aku juga tak melihat sepeda milik Hassya. Sepertinya dia sampai ke tempat ini dengan berjalan kaki.
"Kok diam, Has? Apa kamu sakit? Atau ada ... " aku mencoba bertanya ulang setelah beberapa saat Hassya tak menjawab pertanyaanku.
"Janari kamu bisa diam tidak? Tidak usah bertanya lagi. Dasar cerewet."
Tak ada nada bercanda sama sekali.
"Hah?" Tentu saja aku dibuat melongo dengan perkataan Hassya. Aku tak jadi bergurau padanya. Sepertinya aku harus ikut menanggapi ucapan Hassya dengan serius juga.
Suara Hassya mengandung kemarahan membuatku menjadi bingung. Tapi kenapa dia juga marah kepadaku? Nada bicaranya terdengar begitu ketus. Aku paling sebal jika lawan bicaraku berbicara dengan nada tinggi atau menyebalkan. Kecurigaanku semakin menjadi. Burung-burung mulai ramai berkicau seiring tebakan demi tebakan yang semakin ramai pula dalam otakku. Jika dia marah padaku, kenapa malah dia menemuiku? Atau dia ingin meluapkan kekesalannya padaku. Bisa jadi aku adalah pelampiasan amarahnya pagi ini.