Taraka

Siska Ambar
Chapter #18

#18 Dua Warna Merah

Setelah ujian nasional selesai, kami tak memiliki banyak kegiatan ke sekolah. Hanya beberapa kali berangkat karena ada pengumuman penting. Ada banyak sekali pengumuman yang kutunggu. Pengumuman SNMPTN, pengumuman kelulusan, lalu pengumuman jadwal wisuda dan perpisahan. Semuanya mendebarkan. Jika tak ada kepentingan di sekolah, aku lebih memilih pergi ke hutan untuk ngarit atau mencari kayu bakar. Untuk semua usaha terbaik yang sudah kulakukan, aku sudah memasrahkan takdir terbaikku. Apa Pun hasilnya nanti, aku akan mencoba menerimanya meski peluangnya kecil. Aku baru menyadari belakangan ini jika keputusan yang kupilih memang terlalu didasari rasa ambisi. Aku terlalu memaksakan diri pada hal yang sepertinya bukan kapasitasku. Namun, hasil terbaik tetap akan diumumkan nanti.

Tak terasa waktu terus berjalan. Dua minggu yang kutunggu akhirnya sampai juga. Hari ini aku dan teman-teman berangkat ke sekolah karena mengurus tentang rencana perpisahan. Hari ini juga pengumuman SNMPTN secara resmi akan disampaikan melalui website khusus. Sejak semalam aku tak bisa tertidur. Ujian, lomba, pengumuman penting, dan semua hal yang berkaitan dengan kompetisi selalu membuatku tak nyenyak tidur. Pagi harinya aku tak berselera sarapan. Pengumuman baru akan dirilis nanti sore. Bagiku ini adalah pagi terpanjang dan sore terlalu lama hadir. Aku sudah memberi tahu Bapak dan Ibu. Entah mengapa hari ini doa mereka kurasakan menjadi penopangku satu-satunya. Aku merasa terlalu lemah untuk berdiri di atas kakiku sendiri. Namun, bagaimana pun juga Bapak dan Ibu sudah mendoakan yang terbaik, lagi dan selalu. Aku tak perlu khawatir kehilangan doa dari mereka meski tanpa harus kuminta.

Sepanjang hari aku sangat gelisah. Bukankah hasilnya sudah ada? Tinggal menunggu melihat takdirku bukan? Aku yakin teman-teman lain yang mendaftar SNMPTN merasakan kegelisahan yang sama. Namun, bagi sebagian yang sudah memiliki pilihan lain maka hal ini tak terlalu diambil pusing. Lolos ya syukur, tidak pun tak masalah. Toh ini bukan pilihan utama. Beberapa temanku begitu. Andai aku bisa leluasa memilih dan menentukan pilihanku tanpa terbatas materi. Andai saja aku bisa memiliki banyak pintu peluang yang lain pasti akan lebih melegakan hatiku. Namun, kenyataannya aku tak seberuntung teman-teman yang lain dalam hal materi. Aku tetap harus berjuang dengan usahaku sendiri untuk menciptakan peluang milikku. Beberapa pengandaian yang tak mungkin terwujud tak boleh menyingkirkan rasa syukurku.

Berbagai kemungkinan sudah kusiapkan. Sebenarnya sudah sejak lama aku mempersiapkan diri atas segala kemungkinan. Namun, ternyata tak semudah dan semulus itu. Sampai pada hari yang ditunggu justru rasa cemas, gelisah, takut akan hasil buruk saling bercampur menjadi satu. Ada banyak bayangan dalam pikiranku. Kuteguhkan hati agar menerima apa pun bagian dari takdir terbaikku hari ini. Ternyata salah satu langkah menjadi dewasa ada di hari ini. Entah pendewasaan macam apa yang akan kudapatkan. Yang pasti aku tak bisa menghindar dari hari ini. Sepanjang hari kugumamkan doa lirih yang kuharap bisa memberikan kekuatan lebih padaku nanti. Tentu bukan untuk mengubah hasil yang sudah ada melainkan sebagai penjaga agar aku tak begitu kecewa jika memang hasilnya mengecewakan untukku.

"Janari," panggil seseorang yang langsung duduk di sampingku. Tanpa perlu menoleh, aku sudah paham dengan pemilik suara itu.

Hassya menghampiriku yang tengah duduk di halte sekolah. Aku belum berniat pulang. Karena tak ada handphone canggih untuk melihat pengumuman di rumah, aku harus pergi ke warnet. Daripada bolak-balik dan harus merepotkan Bapak nanti malam karena harus mengantarku ke warnet, lebih baik aku pergi sendiri. Hassya tersenyum walaupun ada ketegangan yang terlihat. Aku ikut tersenyum, kecut. Aku yakin Hassya 100% yakin akan pilihannya. Aku bahkan meyakini Hassya akan lolos pada pilihannya. Tak ada keraguan sedikit pun pada kemampuan Hassya.

"Pulang?" tanyaku singkat.

"Nanti, sebentar lagi."

Hassya malah memutuskan untuk ikut duduk lebih lama di sebelahku. Tanpa kuceritakan, dia pasti melihat ada ketegangan di wajahku. Dia pasti bisa merasakan kegugupan yang kurasakan. Entah mengapa aku merasa lebih emosional. Aku yang tak pernah mau membebani orang lain dengan kegelisahan dan kebimbanganku membuatku memendam semuanya sendiri. Berapa aku sekuat tenaga mencoba agar selalu terlihat tegar di hadapan siapa pun. Namun, mendapati Hassya di sampingku sekarang rasanya aku ingin meluapkan kebimbangan yang semakin menjadi. Mataku berkaca-kaca mencoba menahan agar tak ada air mata yang menetes membasahi pipiku. Sesekali aku mencoba mendongak ke atas agar air mataku tak lagi menggenang di pelupuk mata.

"Apa ini akan berakhir dengan happy ending, Has?" tanyaku dengan suara lirih setelah beberapa saat kata-kata yang ingin kusampaikan terasa begitu berat. Bahkan pertanyaanku mungkin saja tak terlalu terdengar sebab bisingnya kendaraan yang lewat.

"Ya, semoga akan berakhir dengan indah, Jan. Tapi ini bukan sebuah akhir. Kamu paham kan? Kita baru saja akan memulainya."

"Aku hanya berharap bisa menutup lembaran kisah ini dengan indah, Has."

"Semoga akan begitu, Jan. Tapi kamu juga pasti tahu jika kadang beberapa rencana tak berjalan seperti yang kita mau bukan?"

"Iya."

"Aku tak bermaksud membuatmu takut atau kecewa, Jan. Kamu tahu ada banyak kejutan yang bisa saja terjadi. Aku juga merasa sangat gugup hari ini."

Ucapan Hassya benar. Ada banyak plot twist yang bisa saja terjadi. Mengejutkan dan mungkin juga menyakitkan. Tapi, bukankah semua yang terjadi juga bagian dari rangkaian takdir terbaik yang sudah Tuhan gariskan? Bukan hanya dengan kejutan tak terduga, pasti ada kekuatan yang juga sudah diberikan Tuhan untuk mampu melewatinya.

"Kamu benar, Has. Semoga benar akan happy ending seperti banyak kisah yang sudah kubaca."

"Iya."

"Kamu mau langsung pulang kan?"

Hassya memang tak perlu menunggu lama sampai pengumuman dirilis karena ia bisa melihat pengumuman nanti di rumah. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum pengumuman. Aku memutuskan untuk menunggu di halte dulu sambil menghilangkan kecemasanku lagi dan lagi.

"Iya. Yuk pulang. Kamu tidak dijemput kan, Jan?"

Lihat selengkapnya