Taraka

Siska Ambar
Chapter #19

#19 Hanyut di Arus Serayu

Aku mencari sosok Bapak. Biasanya Bapak menunggu di sini. Apakah Bapak sudah pulang lebih dulu? Kulihat ke arah jalan pulang di mana senja mulai menampakkan gurat jingganya. Mungkin Bapak lembur jadi sedikit terlambat. Jalanan sudah mulai ramai dengan orang yang baru pulang bekerja. Banyak pula yang baru berangkat untuk sekadar duduk di alun-alun. Pandanganku terus tertuju pada jalan di mana motor Bapak akan muncul. Kupastikan suaraku juga sudah kembali seperti biasa. Saat menangis biasanya suaraku akan berubah menjadi lebih berat. Aku harus setabah dan setegar Bapak. Bapak tak boleh melihat anak perempuan pertamanya meratapi kegagalannya.

"Ayo, pulang, Jan."

Aku menoleh. Bukan suara Bapak melainkan Hassya. Aku menggeleng sambil tersenyum dan mengalihkan pandanganku dari Hassya. Sebuah senyum palsu. Hassya sudah berganti baju. Itu berarti dia sudah pulang dan kembali lagi. Aku tak mungkin pulang bersama Hassya karena Bapak pasti akan menungguku nanti. Entah mengapa Hassya kembali dari rumahnya dan menemuiku. Sepertinya ada urusan yang harus diselesaikan atau ada kepentingan lain aku tak tahu. Aku berusaha bersikap senormal mungkin di hadapannya.

"Bapakmu sudah pulang. Kamu pulang sama aku, Jan."

Aku tak mengerti maksud perkataan Hassya. Apakah Bapak memang sudah pulang terlebih dahulu tanpa menunggu? Namun, aku masih menggeleng. Bapak sudah berjanji akan menjemputku di sini. Nanti malah Bapak bingung mencariku jika aku tak ada di sini. Karena tak membawa hp, aku tak bisa sembarangan berpindah tempat dari tempat janjian bertemu dengan Bapak. Sebenarnya suaraku menjadi terasa begitu berat. Mataku juga kembali terasa perih melihat Hassya di sini. Aku tak sanggup mengatakan jika aku gagal hari ini padanya. Hassya mungkin saja bisa melihat perbedaan sikapku dibanding tadi sebelum Hassya pulang. Bahkan Hassya mungkin saja sudah tahu kalau aku gagal.

"Ayo, pulang. Nanti keburu malam. Tadi aku yang bilang sama Bapak agar kau pulang bersamaku. Aku tidak berbohong. Ayo, Jan."

Perkataan Hassya sebenarnya membuatku bingung. Apakah benar Bapak memang sudah pulang lebih dulu. Tapi, kenapa Hassya malah meminta Bapak untuk pulang terlebih dulu. Kukedipkan mataku berulang kali agar air mataku tak tumpah. Semua kalimat tersangkut di tenggorokan. Kupandang Hassya yang dibalasnya dengan anggukan kecil. Dia tersenyum dan aku memalingkan wajah. Air mataku sudah hampir menetes. Aku segera naik motor Hassya. Setelah memastikan aman, kami segera menuju arah pulang. Pertanyaan mengapa Hassya menyuruh Bapak pulang dulu sempat ingin kutanyakan langsung. Namun, aku masih belum bisa bersuara. Kuseka air mata yang mulai menetes. Kutahan isakku agar Hassya tak mendengarnya. 

Beberapa bulan yang lalu aku dan Bapak terjebak di bawah hujan di jalan ini. Di jalan yang sama ketika aku mengharapkan agar bisa segera sampai di rumah. Namun, saat itu ada kabar bahagia yang membuatku ingin segera sampai di rumah. Ada selembar piagam dengan namaku tertulis di atasnya yang ingin segera kuberitahukan pada Ibu. Rasa dingin yang saat itu kurasakan terkalahkan oleh keriangan yang kurasakan. Kali ini juga sama. Aku ingin segera sampai. Bedanya saat ini aku lelah. Aku ingin segera tidur dan terbangun lagi dengan senyum semangat. Aku ingin terlelap tanpa kesedihan yang terus menyelimutiku. Aku ingin perasaan sesalku juga ikut hilang seiring mata yang terpejam.

Kualihkan pandangan pada plastik-plastik yang dipasang di sawah sebagai pengusir burung-burung yang terlihat begitu ramai. Beberapa orang-orangan sawah juga menghias. Sebentar lagi akan ada panen raya. Entah sudah berapa kali aku menyaksikan panen di tempat ini. Namun, kali ini aku tak tertarik melihatnya lebih lama. Hassya masih terdiam. Dia membelokkan sepeda motornya ke arah yang berbeda dengan jalan pulang. Ada sedikit kebingungan tetapi aku tak kuasa untuk bertanya. Mungkin saja dia ingin mampir dulu ke suatu tempat. Kami terus melaju dalam hening sampai Hassya menghentikan sepeda motornya di tempat yang sering kami kunjungi juga beberapa waktu lalu. 

"Has."

"Kita duduk sebentar ya. Sudah lama kan kita tidak ke sini? Jangan-jangan kamu lupa lagi?"

Hassya menjawab sambil tersenyum. Dia melangkah menuju bangku yang memang tersedia di sana. Aku mengikuti setelah menyeka air mata yang lagi-lagi memaksa membuat aliran di kedua pipiku. Hassya tak boleh tahu jika aku bersedih meski sebenarnya mungkin dia mengetahuinya. Tempat ini tak terlalu banyak pengunjung. Mungkin karena bukan akhir pekan jadi tak terlalu ramai seperti biasanya. Bangku yang lain juga tampak kosong. Semilir angin sepoi-sepoi bisa kami rasakan.

Kami terdiam memandang ke depan. Sungai Serayu mengalir dengan tenang. Biasanya tempat ini ramai oleh pengunjung yang ingin naik perahu kecil dan berkeliling sebentar di tengah sungai. Perahu milik warga ini sengaja disewakan untuk menambah penghasilan. Tepi Sungai Serayu menyuguhkan suasana sejuk. Ada banyak pepohonan. Tak jauh dari tempat kami duduk terlihat beberapa perahu penambang pasir masih berada di tengah sungai. Mereka masih belum ingin pulang. Masih ada beberapa waktu untuk mengumpulkan lebih banyak butiran pasir sebelum mentari tenggelam di ufuk barat. Bukti nyata kerja keras sepanjang hari bisa terlihat dari gunungan pasir di tepi sungai. Ada hasil yang pantas mereka dapatkan dari keringat yang menetes membasahi tubuh.

"Kenapa kita ke sini, Has?"

Hassya melempar kerikil kecil ke tengah sungai tanpa memandang ke arahku.

"Kamu suka tempat ini bukan?" tanyanya. 

"Iya."

Aku masih menjawab dengan singkat karena belum bisa mengembalikan suasana ceria dalam hatiku. 

"Kamu boleh berteriak di sini, Jan."

Hassya terus melempar kerikil kecil di dekat kakinya. Dadaku kembali sesak. Kukedipkan terus mataku karena terasa begitu berat. Aku tak mau menangis di hadapan Hassya. 

"Tak perlu ditahan. Menangis bukan berarti kamu cengeng kok. Setidaknya kamu bisa melepas bebanmu."

Air mataku sudah tak bisa kubendung. Aku menangis. Tak butuh waktu lama untuk kemudian terisak. Kututupkan kedua tanganku di wajah. Aku makin tersedu ketika mengingat dua kegagalan beberapa menit yang lalu. Ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang begitu menyakitkan untukku. Impian seorang gadis biasa dari keluarga sederhana di bukit dekat senja baru saja kandas. Aku kesulitan menghentikan tangisku. 

"Di sini tidak ada bapak dan ibumu. Adikmu juga tak di sini. Kamu bisa menjadi dirimu sendiri tanpa perlu ada yang disembunyikan. Aku memang tak suka melihat perempuan menangis, tapi kamu punya alasan untuk menangis hari ini. Aku ada di sini jika kamu mau menceritakan semua kekecewaanmu."

Ternyata Hassya memang sengaja meminta Bapak untuk pulang terlebih dulu. Hassya ingin menghiburku atas kegagalan ini. Entah dari mana dia mendapatkan ide ini. Namun, dia memang hadir di waktu yang tepat. Aku masih menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Sebenarnya aku sedikit malu pada Hassya. Tapi dia benar. Rasa sesak ini perlahan hilang seiring air mata yang tumpah dengan derasnya. Menyimpan beban ini terlalu lama benar-benar melelahkan. Aku yang terbiasa menyimpan semuanya sendiri kini merasa lebih baik.

"Pelita tak hanya berwujud nyala.

Dia yang bisa menunjukkan jalan adalah pelita bagi yang dituntunnya. 

Dia yang bisa memberi tahu hal baru adalah pelita. 

Dia yang bisa menggenggam tangan lain ketika terjatuh adalah pelita. 

Lihat selengkapnya